25/09/00
POTMA: "Tidak Transparan"
POTMA, atau Persatuan Orang Tua Mahasiswa, sebenarnya masih mempunyai latar belakang yang tidak jelas. Baik dari dasar peraturannya sampai ketentuan-ketentuan teknis pelaksanaannya. Sehingga seringkali menimbulkan masalah yang melibatkan mahasiswa, orang tua mahasiswa dan fakultas.
Potma alternatif permasukan dana
Di lingkungan UGM sendiri, POTMA, sebagai salah satu alternatif pemasukan dana mulai muncul sejak akhir 80-an, seperti di Fakultas Geografi yang mulai diterapkan sejak tahun 1989 atau Fakultas Kedokteran yang mulai menerapkan sistem POTMA tahun 1988.
Dasar pemikiran terbentuknya POTMA sebenarnya adalah untuk membiayai kegiatan mahasiswa di tingkat fakultas yang dirasa masih sangat kurang, meskipun sudah mendapat suntikan dana dari rektorat yang bersumber dari pembayaran SPP mahasiswa. "POTMA timbul karena banyak kegiatan mahasiswa yang tidak dapat dicukupi dari SPP saja , sehingga kemudian beberapa orang tua mahasiswa berkumpul dan berinisiatif untuk membantu, sehingga kemudian sebagai hasilnya lahirlah POTMA ini." ungkap Ir. Bambang Kartika, Pembantu Rektor III yang sekaligus sebagai pengurus POTMA di beberapa fakultas di UGM.
POTMA sendiri, sebetulnya merupakan hak otonomi dari tiap-tiap fakultas untuk menentukannya. Mulai dari kepengurusan sampai besarnya sumbangan yang harus dibayar orang tua mahasiswa. Tiap-tiap fakultas tentu mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda. Kepengurusan POTMA ditunjuk dari orang tua mahasiswa, meskipun dalam struktur kepengurusan ini masuk beberapa dosen. Tapi tahun ini keluar SK Rektor yang tidak memperbolehkan dosen masuk dalam kepengurusan
POTMA. Sebenarnya, besar kecilnya POTMA tidak tergantung pada kekayaan tiap fakultas. Artinya, belum tentu fakultas yang cukup atau bahkan berlebih secara ekonomi tidak akan menarik POTMA kepada mahasiswanya. “Pada dasarnya, POTMA ada untuk membantu mahasiswa agar dapat melalui masa belajarnya dengan baik, termasuk melakukan aktivitas di luar kuliah yang sifatnya positif. Jadi manfaat POTMA harus langsung dirasakan oleh mahasiswa, ” kata Ir. Bambang Kartika.
Suka rela?
Pada awalnya POTMA ini bersifat suka rela dan jumlah uang yang harus dibayar ditentukan dengan kompromi antara fakultas dan orang tua dalam pertemuan khusus. "Jadi POTMA ini sebenarnya tidak usah dikaitkan dengan kegiatan akademis mahasiswa," kata Ir. Bambang Kartika. Tetapi kemudian, dalam perkembangannya banyak fakultas yang mewajibkan dengan berbagai konsekuensi yang menghambat kelancaran studi mahasiswa, seperti tidak bisa mengisi KRS atau ijazahnya tidak bisa diambil.
Sementara di Fakultas Teknik, masalah POTMA diserahkan ke masing-masing jurusan. Ada beberapa jurusan yang mewajibkan mahasiswa untuk membayar uang POTMA, sementara yang lain tidak. Di Teknik Kimia, misalnya, yang membayar tidak sampai empat puluh persen dari mahasiswa baru. Dan tidak ada diskriminasi akademis bagi mahasiswa yang tidak membayar. "Saya tidak pernah merasa dipersulit hanya karena saya tidak membayar POTMA," kata Oka, mahasiswa Teknik Kimia angkatan '98. Sebenarnya ia tidak terlalu kesulitan membayar uang POTMA sebesar Rp 200 ribu tersebut, tetapi karena banyak juga temannya yang tidak membayar, maka ia pun memutuskan tidak membayar.
Bambang sendiri ketika didesak mengenai tindakan apa yang diambil pihak universitas terhadap fakultas-fakultas yang melanggar ketentuan mengenai POTMA, hanya menyatakan bahwa hal tersebut di luar wewenang universitas. Yang seharusnya diprotes adalah pengurusnya atau pihak fakultas, bukan universitas (Baca: Soal POTMA...Universitas Tidak Tangggung
Jawab)
Alokasi dana
Kemana sebenarnya dana POTMA ini dialokasikan? Hal inilah yang sering dipermasalahkan karena kurangnya transparansi pemakaian dana ini. Awan, Pengurusi BEM Fakultas Ekonomi mengatakan bahwa tidak semua dana POTMA itu dialokasikan ke kegiatan mahasiswa, tapi ada beberapa bagian yang yang dipakai untuk kepentingan pengurus FOKOMA, nama POTMA di Fakultas Ekonomi. Yaitu untuk operasional sehari-hari. "Hanya untuk penyelenggaraan Pertemuan Orang Tua Mahasiswa saja dikeluarkan Rp 10 juta, belum termasuk penerbitan buku FOKOMA," tambah Awan.
Di Fakultas MIPA, setiap mahasiswa wajib membayar sejumlah Rp 400 ribu. Uang POTMA ini akan digunakan untuk bermacam-macam keperluan. Untuk tahun anggaran 2000/2001 ini, dianggarkan fakultas akan menerima dana POTMA mencapai Rp 399,1 juta. Yang terbesar akan digunakan untuk Komputasi Sistem Informasi Kemahasiswaan, yakni Rp 100 juta. Selain itu ada pula anggaran untuk tamanisasi, perbaikan atap gedung, tutorial dan kegiatan ekstrakurikuler mahasiswa.
Di Fakultas Teknik, iuran mahasiswa yang besarnya rata-rata Rp 200 ribu dikembalikan langsung dalam bentuk kegiatan mahasiswa. Selain untuk kegiatan Keluarga Mahasiswa (KM), dana POTMA juga digunakan untuk membantu tutorial bagi mahasiswa yang merasa kesulitan dengan kuliah atau untuk memberi subsidi bagi mahasiswa yang sedang Kuliah Kerja Lapangan. “Biaya KKL itu sangat mahal. Maka POTMA memungkinkan adanya subsidi silang. Yang tidak mampu bisa lancar kuliahnya,” jelas Pak Bambang.
Kebanyakan aktivis mahasiswa yang ditemui Bulaksumur Pos menyatakan bahwa pada dasarnya mereka merasa terbantu dengan adanya dana POTMA. "Setahun saja, kami bisa menerima dana 30 juta untuk 18 lembaga yang ada di FE. Khusus untuk BEM, mencapai Rp 10 juta," kata Awan. Hal senada disampaikan oleh Candra, mantan Aktivis KM Teknik Kimia. "Kalau tidak ada dana dari POTMA, kami kesulitan mengadakan kegiatan karena biayanya kurang, "kata mahasiswa Angkatan '96 ini.
Meskipun begitu, menurut Pak Bambang tidak pada tempatnya kalau dana POTMA digunakan untuk pembangunan fasilitas. "Seharusnya, pengadaan fasilitas itu dicarikan sendiri dananya oleh fakultas, tidak dengan menarik dana dari orang tua mahasiswa, " ujar Pak
Bambang. Di lain pihak, fakultas yang tidak menarik iuran POTMA dari mahasiswanya mengemukakan alasan bahwa dana dapat digali dari sumber lain yang sebisa mungkin tidak memberatkan mahasiswa. “Bisa lewat alumni, funding (donatur- red) atau hal lain yang tidak mengikat,” ujar Drs Soetomo, Pembantu Dekan III Fakultas
ISIPOL. (Wowok, Laporan : Alia dan Ukhid-Bulaksumur). |