04/09/00
Memang Sulit Jadi Dosen
Memasuki dunia kampus, bagi mahasiswa baru bagaikan memasuki gerbang besar yang belum
diketahui siapa dan bagaimana penghuninya. Tapi tahap yang cukup penting dan memakan
banyak waktu adalah : mencoba memahami karakter dosen. Dan maklum saja, tak semua dosen
punya sifat-sifat ideal versi mahasiswa. Lalu karakter dosen bagaimana yang dianggap
'menyebalkan' ?
Pada proses transfer ilmu dibangku kuliah, hubungan mahasiswa dengan dosen bisa dibilang
merupakan sesuatu yang mutlak. Ada banyak versi hubungan ideal antara dosen dan mahasiswa.
Dosen punya versinya sendiri, begitu pun mahasiswa. Tapi bukan sesuatu yang mengherankan
kalau banyak mahasiswa berkeluh kesah -atau tepatnya ngrasani (membicarakan di
belakang-red) tentang dosen-dosen yang tak sesuai harapannya. "Dosen-dosen banyak
yang terlalu formal, tidak santai. Bahkan kadang terlalu perfeksionis. Pendapat dosen
harus selalu diiyakan, " kisah Dian, mahasiswa Fakultas Hukum angkatan '97.
Yang lebih disorot di sini adalah sikap dosen yang tidak enak ketika memberikan ilmu. Jadi
bukan sifat kesehariannya. Ini bisa saja termasuk caranya berhubungan dengan mahasiswa,
caranya memberikan nilai, dan terutama, caranya mengajar.
Masih Feodal
Hal yang dialami oleh Dian tadi, ternyata dialami juga beberapa orang mahasiswa lain. Mia
-bukan nama sebenarnya- , mahasiswa Teknologi Pertanian angkatan 99 menyatakan bahwa ada
dosen yang tidak mau dikritik dan terkesan tersinggung kalau mahasiswa menyampaikan
pandangan yang berbeda dengan dosen.
Muktasar, dosen Fakultas Filsafat berpendapat, bahwa latar belakang tradisi Jawa yang
'dianut' oleh sebagian dosen memang masih cukup kuat. "UGM masih terpengaruh tradisi
feodal sehingga hubungan antara dosen dengan mahasiswa seperti hubungan orang tua dan
anak, Orang tua selalu menjadi pihak yang dominan, sedangkan anak harus selalu menuruti
kata orang tua. Begitupun dosen, inginnya selalu mendikte mahasiswa. Seharusnya tradisi
feodal itu tidak melekat pada komunitas ilmiah seperti perguruan tinggi."
Menanggapi hal yang sama, Drs Ahmad Adaby Arban, SU, Pembantu Dekan III Fakultas
Sastra menyatakan, "Dosen-dosen yang dulu saat menjadi mahasiswa termasuk tipe
aktivis banyak yang mengadakan pendekatan dengan cara yang lebih baik terhadap mahasiswa,
jika dibanding dosen-dosen yang dulunya belajar melulu." Namun demikian, lanjutnya,
dosen yang belajar melulu tersebut bisa saja melakukan pendekatan dengan mempelajari trend
di kalangan mahasiswa, jadi kesenjangannya tidak terlalu jauh. Mempelajari trend ini
berarti berusaha mencari tahu karakter khas mahasiswa pada zamannya, teutama dalam gaya
belajar dan cara menyerap ilmu. Karena setiap generasi pasti punya gayanya
sendiri-sendiri. "Adalah kewajiban dosen untuk menyesuaikan dengan gaya
tesebut."
Otoriter
Pada umumnya mahasiswa yang sempat ditemui Bulaksumur Pos memandang dosen-dosen yang
menutup diri disebabkan karena merasa memiliki otoritas atas nila-nilai mahasiswa,
sehingga hal ini dirasakan tidak demokratis, bahkan tidak kooperatif. "Iya, mahasiswa
hanya tahu jadi. Catatan disuruh fotocopy, nilai tidak ada transparansi. Kalau tidak tahu
di mana letak kesalahan kita, bagaimana kita bisa memperbaiki kekurangan ?" kata Ari,
mahasiswa Fakultas Geografi.
Rita, punya contoh konkrit mengenai hal ini. "Aneh, nilai saya yang keluar E. Padahal
absensi saya penuh. Mid memang tidak diselenggarakan oleh dosen. Tapi 4 soal dalam UAS
dapat saya kerjakan. Lalu paper yang minimal 20 halaman saya kerjakan sendiri tanpa
menjiplak. Ketika saya konfirmasi, sang dosen menjawab, 'Jangan merasa pinter, mbak!"
lalu pergi, " katanya menirukan. Mahasiswa Fakultas Hukum ini pun kesal karena merasa
terhambat. Dan akibatnya, begitu harus mengulang tahun berikutnya.
Masalah otoriterian ini juga banyak dirasakan oleh mahasiswa yang sedang membuat
skripsi. Kebanyakan jawal pertemuan diatur sepenuhnya oleh dosen. Jadi mahasiswa harus
selalu siap untuk menyesuaikan dengan kesibukan dosen. "Padahal kan, kadang kita ada
janji dengan responden, " ungkap salah satu dari beberapa mahasiswa Fakultas Hukum
yang memang sedang menunggu giliran untuk konsultasi skripsi . "Yang lebih membuat
kita kesal, sering kali dosen tidak menepati janji. Jadi semisal kita sudah membuat janji
untuk bertemu dengan beliau minggu depan, akhirnya molor jadi sebulan kemudian. Ini tentu
saja sangat menghambat kami."
Dalam menuangkan pemikiran untuk dibahas dalam skripsi pun, mereka juga mengalami
kesulitan. Kadang kala, dosen tidak mau menerima pemikiran mahasiswa. Semua harus sesuai
dengan keinginan dosennya. "Jadi timbul kesan, membuat skripsi itu untuk memuaskan
keinginan dosen, bukan untuk kepentingan kita sendiri."
Serius tapi Santai
Tampaknya, melucu adalah salah satu tugas dosen juga. Ini dinyatakan oleh beberapa orang
mahasiswa. Kesan serius dan formal malah membuat suasana belajar menjadi tegang dan
mahasiswa tidak bisa menikmati materi yang diberikan. "Kalau dosennya lucu, kita bisa
santai dan lebih cepat dong. Tidak bosan, " ujar Ari. Ia mengakui, kalau sedang bosan
karena dosen bicara tidak karuan, ia memilih mendengarkan walkman atau membaca buku cerita
yang sengaja dibawanya dari rumah. Menurutnya, ilmu toh bisa didapatnya dengan membaca
buku. Bisa dipastikan, materi dari dosen hampir sama persis dengan buku yang dibacanya.
Sehubungan dengan pemberian materi ini, seorang mahasiswa Kedokteran Umum angkatan
'97 juga mengeluhkan cara mengajar seorang dosen Farmakologi. "Santai sih oke, tapi
ini jangan sampai tidak fokus ke materi kuliah. Kalau mahasiswa ngobrol sendiri, si dosen
marah, padahal dosen itu selalu menggunakan sebagian waktunya untuk chatting tentang rumah
tangganya pagi itu. Kita harus mendengarkan dan menanggapi. Padahal kalau dipikir, apa
gunanya untuk mahasiswa. Itu kan masalah pribadi beliau."
"Materi yang ada di perkuliahan sama persis dengan literatur, tapi aplikasinya
kurang. Makanya banyak mahasiswa yang cuma baca literatur dan foto copy. Itu merupakan
cara pengadaptasian kekecewaan cara mengajar, " kata Emi, mahasiswa Sastra.
Menggarisbawahi hal ini, Pak Adaby berpendapat bahwa sebaiknya ilmu tidak hanya
ditransfer, tetapi juga disosialisasikan dan dikembangkan. Untuk itu, dosen juga harus
memperbaharui referensi dan mencarikan peluang aplikasi. Idealnya, lanjut dosen yang laris
juga sebagai pembicara masalah-masalah sosial keagamaan ini, cara belajar di kelas adalah
persuasif dialogis. Dosen harus pandai berkomunikasi dan menarik perhatian mahasiswa
dengan contoh dan praktek. Dosen harus pandai-pandai memilih contoh yang dapat dengan
mudah dipahami oleh mahasiswa. Bahkan kalau bisa, ambil saja contoh dari kehidupan
sehari-hari mahasiswa. Begitu pula mahasiswa, sebaiknya sudah membaca bahan yang akan
diberikan sebelum kuliah mulai. Dengan begitu mahasiswa dan dosen bisa mendiskusikan
hal-hal yang ada dalam materi.
Muktasar rupanya juga berpendapat sama. "Hubungan dosen dan mahasiswa itu
kemitraan, sehingga tidak ada istilah saling menghormati. Sebab terkadang istilah tersebut
malah yang sering membuat hubungan jadi tidak terbuka. Sedikit santai dan bercanda tak
masalah, asalkan ilmu masuk, " kata dosen yang memang dikenal dekat dengan mahasiswa
ini.
Dian bahkan menginginkan dosen menganggap mahasiswa sebagai temannya. "Dengan
memanggil mahasiswanya dengan sebutan 'dik' mungkin akan membuat suasana jadi lebih akrab,
" sahutnya. "Selama ini kan dosen sering memanggil mahasiswa dengan sebutan
'anda' atau 'saudara'. Kesannya telalu formal dan kaku. Sepertinya ada jarak antara dosen
dan mahasiswa."
Memang tidak mudah untuk membangun hubungan yang harmonis antara dosen dan mahasiswa. Tapi
tampaknya, ada point-point penting yang seharusnya dapat menjadi bahan instropeksi untuk
dosen. Bahwa keberhasilan studi mahasiswa, selain tergantung keinginan yang kuat dari
mahasiswa sendiri, juga dipengaruhi oleh sikap dosen.
Untuk membangun iklim belajar yang kondusif dan tidak tejadi reduksi kualitas, Pak
Adaby mengusulkan agar acara 'public hearing' sering diadakan. "Acara ini berguna
untuk warga kampus -baik mahasiswa, dosen dan bahkan karyawan untuk meningkatkan kualitas
pendidikan. Di dalam acara itu, akan terjadi proses evaluasi dan menginstropeksi
kekurangan-kekurangan yang ada. "Tapi syaratnya ya itu tadi , dosen tidak boleh takut
untuk dikritik!" (Sylvia,Mala) |