log.gif (13574 bytes)
  Indeks  | Daftar Berita | Sapa Kami Pengelola

17/10/00
Pemira Dua Generasi

".......Rakyat memperhatikan kami dan dengan demikian rakyat juga tahu bahwa mahasiswa tidak hidup dalam menara gading, seperti yang diduga orang. Aku ingin agar mahasiswa-mahasiswa ini menyadari bahwa mereka adalah "the happy selected few" yang dapat kuliah dan karena itu mereka harus juga menyadari dan melibatkan diri dalam perjuangan bangsanya.....”

Begitulah yang ditulis Soe Hok Gie dalam buku hariannya tanggal 10 Januari 1966. Saat itu, puluhan mahasiswa Universitas Indonesia melakukan longmarch menentang kenaikan harga. Berhari-hari waktu kuliah mereka habis untuk turun ke jalan, berjuang atas nama rakyat.
Sebagai kaum terpelajar, mahasiswa dianggap mempelopori gerakan-gerakan untuk perubahan di negara ini. Mahasiswa 'bermain' secara spektakuler dalam isu-isu besar mulai dari soal buruh sampai menggulingkan satu rezim kekuasaan, bergerak untuk rakyat, mengganyang pemerintahan yang korup. 
Tapi bagaimana dengan kehidupan politik dalam kampus sendiri? Tak banyak referensi yang bisa menunjukkan bagaimana kehidupan politik mahasiswa dalam kampus. Apalagi pada akhir 90-an ini, saat mahasiswa semakin enggan terjun dalam dunia politik kampus. Pemira hanya diikuti kurang dari 10 persen mahasiswa, lembaga mahasiswa yang dibubarkan di beberapa fakultas. Isu fakultatif pun sering kali tak terjangkau. 

Pemilu Dema : Ajang Mengiklankan Diri
Di tahun 60-an sampai 1978, lembaga kemahasiswaan di tingkat universitas adalah Dewan Mahasiswa (Dema). Sedangkan di tingkat Fakultas, ada lembaga bernama Kodema. Meskipun tak lepas dari kritik, pada masa itu Dema menjadi organisasi yang cukup populer bagi mahasiswa. Gama Fair ala Dema beberapa kali dilaksanakan dengan sambutan yang cukup meriah. 
Pada era Dema, pemilu mahasiswa dilakukan dua tahun sekali dengan sistem perwakilan. Saat itu mahasiswa tidak memilih ketua lembaga, melainkan memilih wakil mereka yang akan duduk di majelis mahasiswa.Saat itu, lembaga mahasiswa yang ada di luar Dema diperkenankan untuk berpartisipasi dalam pemilu. Dua organisasi terbesar yang selalu bersaing adalah Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Di antara dua organisasi ini, ada pula organisasi-organisasi kecil yang sering menamakan dirinya independen. 
Menjelang Pemilu, kampanye dilakukan secara bebas dan terbuka oleh masing-masing peserta. Cara yang dianggap paling efektif waktu itu adalah melalui poster, selebaran atau spanduk yang 'mengiklankan kontestan‘. Slogan partai pun bermunculan, karena para kontestan berusaha membangkitkan sentimen pendukungnya melalui identitas dan simbol organisasi. Cara berkampanye dengan mimbar bebas tak terlalu diminati, karena biasanya mahasiswa malas berkerumum mendengarkan orasi. Sering kali mimbar bebas ini diganti dengan aksi teaterikal. Jumlah pemilih pada era ini mencapai 53,9 % atau sekitar 8.000 mahasiswa .

Pemilu SMPT: Makin Lama Makin Sepi
Era yang kedua adalah era Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT). Lembaga ini dibentuk berdasar S.K. No. 0457/U/1990 untuk mengisi kevakuman lembaga mahasiswa sejak Dema dibubarkan karena dianggap terlalu kritis dan radikal. Sejak senat berdiri, lembaga ekstra dilarang terjun dalam kegiatan politik dalam kampus. Memulai babak baru SMPT, dilakukanlah pemilu pertama dengan sistem perwakilan, yang dilakukan di setiap fakultas. Wakil-wakil mahasiswa terpilih kemudian menentukan dewan formatur yang bertugas membentuk kepengurusan Senat dan Badan Eksekutif. Pada masa Senat ini, sistem Pemira terus dibongkar pasang. Tercatat sejak tahun 1990 sampai 1997, tiap tahun terjadi perubahan mekanisme Pemira. Sistem partai sendiri mulai berlaku pada tahun 1997, dengan alasan sulit mendapatkan massa jika organisasi yang ikut (pada waktu itu HMJ) tidak memiliki massa dengan basis politik yang kuat.

Pada era ini, tampak bahwa mahasiswa cenderung enggan untuk ikut dalam kehidupan politik kampus. Jumlah pemilih tak beranjak dari angka 20 %. Jumlah pemilih terbanyak tejadi pada tahun 1994, dengan persentase 30,8% dari keseluruhan mahasiswa UGM. 
Pada masa kampanye, tampak sekali bahwa mahasiswa bersikap cuek pada politik intern kampus. Para calon yang berkampanye harus berani diacuhkan atau bahkan dicemooh karena dianggap sok politis. Kebanyakan partai berkampanye tentang program-program mereka dengan bahasa organisasi yang formal. Pada hari H apalagi, tak banyak mahasiswa yang bersedia meluangkan waktu untuk masuk ke bilik suara, menggunakan hak suaranya. 

Imbas Kemajuan Ekonomi
Menuduh bahwa rendahnya tingkat partisipasi mahasiswa sebagai indikator sikap apatis, memang tidak tepat. Tapi setidaknya, dari dua era di atas, memang tampak ada pergeseran bagaimana mahasiswa menyikapi isu lokal kampus. Generasi mahasiswa sekarang memang generasi yang jauh dari sikap politis. Rata-rata mereka adalah generasi yang lahir saat hegemoni politik Orde Baru masih kuat sehingga mereka pun (di)jauh(kan) dari kehidupan politik. 
Selain itu, kemajuan ekonomi membuat mahasiswa makin berpikir pragmatis. Tentu ada pertimbangan untung rugi pada sikap-sikap yang diambil. Apa keuntungan yang didapat jika menggunakan hak suara, apa keuntungan yang didapat jika memilih calon A. Kemajuan ekonomi pula yang membuat kesenjangan antar mahasiswa makin tampak. Ketika SPP naik, mungkin bukan masalah bagi mahasiswa kaya yang bermobil. Tapi bagaimana mahasiswa yang menganggap kuliah adalah barang mahal? Ketika satu kelompok mahasiswa tidak merasa dirugikan, mereka tidak mau membela kelompok mahasiswa yang rugi. Apakah itu indikasi juga bahwa mahasiswa sudah tidak kompak
(Alia Swastika, Sumber: Gelora Mahasiswa, Tabloid Bulaksumur