28/11/00
Kisah Mahasiswa Gelandangan Kampus
Dari Mandi dengan Lilin sampai Lihat Hantu
"Sepi, Bengi, Wedi
ning Kampus Saiki”
Begitulah bunyi judul tulisan refleksi Gali (Perpustakaan '99) di salah satu sudut FISIPOL tentang kehidupan malam harinya di kampus UGM. Refleksi Gali tadi tidak hanya mencerminkan kehidupannya sendiri, tetapi juga merupakan refleksi dari banyak penggelandang di sudut kampus UGM lainnya. Kampus UGM setelah sore hari memang telah ditinggal mahasiswanya. Mahasiswa cenderung memilih untuk segera “cabut” dari kampus setelah seluruh kegiatannya rampung. Bagi mereka tiada istana senyaman rumah atau kos-kosan mereka sendiri. Namun tidak semua mahasiswa melakukannya. Setidaknya bagi para penggelandang kampus UGM, rumah yang ternyaman adalah sekretariat di kampus.
Pada awalnya....
Bukan rahasia lagi jika di beberapa sekretariat organisasi kemahasiswaan di UGM hidup para “gelandangan kampus”. Mereka tinggal di sana dan mengerjakan seluruh kegiatan keseharian cukup dengan fasilitas yang tersedia di tempat masing-masing.
Ada beberapa alasan mereka memilih menggelandang di kampus. Awalnya mereka hanya sekedar transit. “Saya awalnya hanya sementara tinggal di sekretariat karena tidak punya kos sambil mencari kos baru" ungkap Wiwin (Biologi '97), anggota Matalabiogama. Pengalaman serupa juga diceritakan oleh Indra (Geografi '98) warga Jamaah Mushola Geografi. "Ruang JMG sekarang ditinggali oleh seseorang yang sedang menunggu mendapatkan tempat di asrama," jelas Indra. Selain alasan transit, alasan ekonomi juga seringkali turut berpengaruh. "Kalau tinggal di kos-kosan, duit dari ngajar ngaji habis. Kalau sekarang saya paling tidak bisa beli makan dan buku," ujar Arif (Sastra Arab '97) yang juga aktif mengajar mengaji di Fakultas Sastra.
Alasan geografis juga seringkali turut menjadi penyebab mahasiswa memilih menggelandang di kampus. Gali yang sejak tahun 1999 tinggal di sekretariat Sintesa, menjadikan jarak sebagai alasan utama. "Aku dulu tinggal di kontrakan kakakku di Taman Siswa, perjalanan dengan bus butuh waktu setengah jam, itu pun kalau sedang beruntung. Kalau tidak, satu jam pun bisa belum sampai," ungkap Gali.
Apapun alasan mereka, yang jelas kini mereka telah benar-benar membumi dengan kehidupannya. Suasana hidup di kampus ternyata begitu menyenangkan. "Aku telah berproses di Sintesa, saat malam yang tenang aku bisa belajar dengan khusyuk. Aku Jatuh Cinta!" seru Gali. Sementara Arif begitu menyenangi suasana kampusnya yang kondusif. "Mengasyikkan, selalu ada waktu untuk diskusi dan curhat dengan teman-teman.”
Romantikanya...
Kehidupan para penggelandang kampus tak jauh beda dengan mahasiswa lainnya. Cuma terkadang proses kegiatan mereka harus dijalani dengan cara yang tidak biasa. Untuk mandi saat malam hari misalnya, anak-anak Sandal (Sastra Ndaloe-komunitas malam Fakultas Sastra) terpaksa harus mandi diterangi lilin, karena tidak ada penerangan lain. Sementara Gali dengan fasihnya menjelaskan jam-jam nyala air di FISIPOL.
Persoalan perut juga bukan persoalan gampang. Wiwin terbiasa memasak dengan kompornya. Ada juga beberapa lainnya yang memilih untuk cari makan keluar. "Kami telah terbiasa untuk makan di angkringan" ujar Arif.
Di balik kehidupan merekapun tergores pengalaman-pengalaman menarik. Kisah seram karena melihat hantu bukan lagi sesuatu yang luar biasa, seperti yang dialami Bayu (Geografi '96). "Kami sering melihat kuntilanak atau kepala cewek cantik melayang layang," ujarnya. Lain llagi kisah Gali yang pernah terjatuh dari genteng saat menjemur pakaian. Kejadian lucu juga pernah dialami Wiwin ketika orang tuanya datang ke kos, padahal dirinya tidak tinggal di kos lagi. Setelah disusul ke kampus, orang tuanya begitu kaget. Tetapi Wiwin memilih untuk mengelak, "Saya bilang saja, saya sedang menginap.”
Untung Rugi Tinggal di Kampus
Keberadaan mahasiswa yang tinggal di kampus memang bukan berarti tidak menimbulkan pengaruh apa-apa. Baik bagi mereka sendiri, maupun bagi lingkungannya. Bagi diri mereka sendiri ada beberapa keuntungan. Pertama, menghemat uang kos. Kedua, mereka dapat menjalin hubungan dengan penjaga malam. Dan ketiga, kendala jarak dan transportasi dapat teratasi. Sementara bagi lingkungannya tentunya rasa aman akan lebih tercipta. "Anak Setrajana (Mapala Fisipol, red) telah beberapa kali berhasil menangkap maling di sini," ujar Gali. Selain itu keamanan barang-barang sekretariat jauh lebih terjamin. "Selalu ada yang berhasil menjebol sekretariat kami, di saat tidak ada orang," ucap Wiwin.
Sementara kerugian bagi mereka umumnya berkisar soal privasi. Cukup sulit bagi mereka untuk bisa mengurusi urusannya sendiri, padahal tempat mereka selalu dijadikan tempat berkumpulnya komunitas. Keberadaan mereka menjadi ujung tombak untuk urusan-urusan yang mendadak. Karena kerugian itulah beberapa dari mereka cenderung tidak berniat untuk meneruskan hidupnya di kampus sampai lulus.
Bagi kalangan birokrat kampus sendiri tampaknya mereka tidak terlalu memperdulikan keberadaan para penggelandang kampus. "Di Fisipol memang sempat direncanakan ada jam malam, tapi kami telah memprotes keras terlebih dahulu lewat Sintesa tembok. Akhirnya tidak jadi," kata Gali. Sementara di fakultas lain pun keberadaan mereka juga tidak banyak dipersulit. Di Biologi misalnya pelarangan hanya secara lisan. "Paling-paling mereka bilang melarang, tapi karena mereka tidak berani menjamin keamanan sekretariat, akhirnya larangan itu mentah dengan sendirinya".
Memang selama para penggelandang tidak mengganggu, bahkan turut memelihara kampusnya, keberadaan mereka tidak seharusnya menjadi masalah.
Ganesha
Laporan: Lutfi, Charlly
|