log.gif (13574 bytes)
  Indeks  | Daftar Berita | Sapa Kami Pengelola

15 mei 2001  
Pusat Studi di UGM

UGM mempunyai 20 pusat studi di bawah koordinasi Lembaga Penelitian. Namun dalam perkembangannya, masing-masing pusat studi lebih mandiri, baik masalah kebijakan ataupun dana.

    Kegiatan utama yang dilakukan pusat studi adalah penelitian sesuai konsentrasi pusat studi tersebut. Penelitian yang dilakukan pusat studi berbeda dengan penelitian di fakultas atau jurusan karena lebih bersifat multidisipliner, satu topik dapat diteliti dari sudut pandang keilmuan yang berbeda-beda. Seperti yang dikatakan Ir. Yudi Utomo Imardjoko, M.Sc., Ph.D., kepala Pusat Studi Energi (PSE), “Di sinilah letak karakteristik khususnya. Pusat studi diminta untuk menjawab permasalahan hidup yang kompleks dengan pendekatan pandangan multidisipliner. Di pusat studilah para pakar dari bidang eksakta maupun sosial bisa bertemu dan mendiskusikan suatu permasalahan. Dari sini diharapkan diperoleh solusi yang lebih menyeluruh.”     Pusat Studi lainnya seperti Pusat Penelitian dan Pengembangan Pariwisata (PUSPAR) UGM bergerak di bidang kepariwisataan dan segala aspek yang terkait dengannya, seperti transportasi dan informasi. Rata-rata dalam setahun PUSPAR melakukan penelitian sebanyak lima belas kali, baik dari hasil proyek dengan pihak lain maupun dari dalam lembaga yang sifatnya basic research. Biasanya penelitian basic research itulah yang ditawarkan kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan untuk dikembangkan lebih lanjut.
    Ide penelitian di pusat studi bisa berasal dari dalam institusi maupun pesanan dari luar lembaga seperti industri. Sebagian besar memang berupa usulan dari staf-staf peneliti di dalam. Untuk suatu usulan yang disetujui, pusat studi terkait akan mencarikan donor agency untuk pembiayaan penelitian.
    Selain penelitian, pusat-pusat studi juga melakukan kegiatan pendidikan dan pelatihan. PSE, misalnya, melakukan pelatihan-pelatihan untuk kalangan industri. PSE tengah merencanakan tidak hanya melakukan pengkajian tetapi juga mulai merambah sektor bisnis. PSE turut merencanakan pembangunan Pembangkit Listrik di Bangka dan Sungai Brantas. Dari usaha ini, sumber pendapatan pun dapat diperoleh.
    Agak berbeda dengan pusat studi lain, Pusat Studi Jepang (PSJ) tidak melakukan kegiatan penelitian. Salah satu pusat studi budaya ini hanya melakukan kegiatan diplomasi akademik antara pemerintah Indonesia dengan Jepang, antara lain mengurusi masalah pertukaran mahasiswa atau dosen yang akan belajar ke Jepang. PSJ melakukan training terhadap calon mahasiswa untuk lebih mengenal akan budaya dan bahasa Jepang. PSJ juga menerima pesanan suatu instansi untuk melakukan pelatihan, misalnya dari DIKTI.
   
Publikasi dan pelaporan
    Umumnya pusat-pusat studi bersifat otonom, rektorat tidak dapat mengintervensi masalah kebijakan penelitian atau masalah dana. Lembaga Penelitian hanya turut campur dalam pendirian Pusat Studi, seperti pengurusan ijin dan penentuan lokasi di UGM. Namun setelah itu, pusat studi benar-benar mandiri. Hidup mati suatu pusat studi ditentukan oleh pengurusnya sendiri.
    Oleh karena itu, pusat-pusat studi tidak mempunyai mekanisme pelaporan ke rektorat atau Lembaga Penelitian. Mekanisme pelaporan yang dipakai beralih dari bureucratic style menjadi public style. Artinya, yang penting laporan hasil penelitian dapat sampai ke masyarakat luas, bukan sekedar tanggung jawab birokrasi.
    Untuk publikasi hasil-hasil penelitian, masing-masing pusat studi mempunyai terbitan, baik dalam bentuk buku, jurnal maupun laporan.      Pusat Penelitian Kependudukan (PPK), selain mempunyai terbitan buku-buku juga sedang mengembangkan sebuah media informasi semacam policy brief. Media ini berisi usulan tentang penelitian kependudukan yang ditujukan langsung kepada para policy maker (penentu kebijakan-red), tentu saja dengan bahasa yang lebih mudah dipahami secara umum.
    PUSPAR mempublikasikan hasil penelitiannya dalam dua bentuk, Jurnal Nasional Pariwisata dan Research News Puspar. Sementara itu, PSE mempunyai majalah ENERGI yang terbit setiap tiga bulan. Majalah ini didistribusikan di seluruh fakultas di UGM, di perpustakaan dan juga dikirim ke industri-industri. Sampai saat ini tiras majalah ENERGI mencapai 700 eksemplar. Pusat Studi Jepang yang tidak melakukan kegiatan penelitian tidak mempunyai terbitan atau sistem pelaporan.

Cari dana sendiri
    Untuk membiayai kegiatannya, baik untuk penelitian atau administrasi, masing-masing pusat studi mencari dana sendiri. Lembaga Penelitian hanya membantu mengucurkan dana pada saat awal pendirian pusat studi. Seperti yang disampaikan Yudi yang juga Ketua Jurusan Teknik Nuklir, “Dua tahun pertama PSE memang dapat kucuran dana Rp 750.000, per tahun dari universitas yang tentu jauh dari cukup. Tapi mulai tahun ini dana tersebut sudah dihentikan.”
    Tapi ada juga pusat studi yang sejak awal berdirinya tidak mendapat dana sama sekali dari Lembaga Penelitian. Seperti yang dialami Pusat Studi Jepang. “Kami harus cari sendiri dengan melakukan janji kontrak dengan suatu instansi. Dengan cara itu pusat studi ini bisa hidup. Dana hasil kontrakan tidak mengalir ke individu tapi ke instansi,” ujar Ir. Susmanto, Msc, pimpinan PSJ.
    Solusi yang paling praktis adalah bekerja sama dengan instansi lain untuk melakukan penelitian. Seperti PUSPAR yang bekerja sama dengan Kantor Menteri Negara Pariwisata dan Kesenian, Dirjen Kebudayaan Departemen Pendidikan Nasional, Dinas Pariwisata Propinsi dan Kabupaten, lembaga-lembaga penelitian antar perguruan tinggi maupun lembaga penelitian di lingkungan UGM sendiri. PUSPAR juga menjalin kerja sama luar negeri seperti dengan Biefeld University Jerman, Tilburg University Belanda dan Asea Uninet yang merupakan jaringan kerjasama antara beberapa universitas di Australia dan Asia Tenggara.
    Dana juga dapat diperoleh dengan bersaing memperebutkan dana penelitian. Menurut Drs. Hendrie Adji Kusworo, Msc., deputy director PUSPAR, kehidupan lembaganya tergantung pada dana tender yang didapatkan. "Kami terkadang harus bersaing dengan lembaga penelitian lainnya untuk mendapatkan research grand," kata Hendrie yang menjadi peneliti tetap PUSPAR spesialis perencanaan pariwisata, leisure dan pembangunan masyarakat. Dana-dana penelitian yang diperebutkan ini bisa dari pemerintah, LSM maupun dari luar negeri.

UGM dapat 5%
    Menurut aturan yang disepakati antara pusat-pusat studi dengan Lembaga Penelitian, setiap Pusat Studi di UGM harus memberikan 5% dari seluruh dana yang diperoleh atau tender penelitian pada unversitas setiap tahunnya.
    Dr. Agus Dwiyanto, direktur PPK mengakui adanya fee ke universitas sebesar 5% dari nilai proyek. "Tapi tergantung juga dari jenis dan proses penelitiannya," lanjut Agus. Yang terpenting menurutnya adalah PPK memiliki kemandirian/otonomi untuk mengembangkan inovasi dan kreativitas. Pihak universitas sejauh ini cukup mendukung menuju ke arah tersebut. PPK yang relatif banyak melakukan penelitian tidak keberatan untuk menyisihkan 5% dananya untuk universitas. Begitu juga dengan PUSPAR dan PSE.
    Untuk pusat-pusat studi yang banyak mendapat proyek penelitian dari luar, memang penyisihan dana 5% itu tidak bermasalah. Namun untuk pusat studi yang kesulitan mendapat dana, jumlah itu tentu cukup besar dan merisaukan. Karena itu sering ada pelanggaran peraturan itu. Pelanggaran aturan ini sebenarnya juga karena tidak ada pengawasan yang ketat dari universitas.

Keterlibatan mahasiswa
    Mahasiswa sebenarnya bisa memanfaatkan fasilitas pusat studi ini untuk penelitian karena masih termasuk fasilitas UGM. Namun sayang, banyak mahasiswa yang tidak tahu menahu tentang kegiatan pusat studi ini. Pusat studi sendiri kurang gencar berpromosi dan cenderung melakukan rekrutmen tertutup untuk mendapatkan karyawan atau peneliti. Hasilnya, keterlibatan mahasiswa sangat minim.
    PSE yang baru berumur tiga tahun, memang tidak pernah mengadakan rekrutmen terbuka untuk peneliti. Namun PSE membuka diri untuk siapa pun yang berminat menjadi peneliti, baik itu dosen, mahasiswa maupun praktisi dari dalam dan dari luar UGM. “PSE adalah tempat untuk interaksi para pakar dari berbagai bidang dengan ketertarikan pada energi. Siapapun yang berminat seputar energi bisa menjadi peneliti di PSE,” ujar Yudi. Kepala PSE yang juga Ketua Jurusan Teknik Nuklir ini mengakui keterlibatan mahasiswa dalam berbagai kegiatan penelitian di PSE memang rendah.
    Pusat Studi Jepang juga tidak mengadakan rekrutmen terbuka untuk mahasiswa.    “Tenaga untuk men-training memang diambil dari mahasiswa atau dosen yang telah kompeten dengan masalah Jepang. Rekrutmen yang dilakukan memang bersifat tertutup karena kami lebih senang bekerja dengan orang yang telah kami kenal kemampuan dan kekurangannya,” ujar Susmanto memberi alasan.
    Begitu juga dengan PPK. Peneliti dipilih dari institusi tertentu sesuai kapabilitasnya. Para peneliti berasal dari kalangan dosen yang dipilih. Peneliti bisa juga dari mahasiswa, yang awalnya nanti menjadi asisten lapangan lalu naik menjadi asisten pembantu peneliti. Jika bagus akan dididik dan disekolahkan untuk kemudian dikontrak di PPK. Bahkan kalau memang layak akan dipromosikan menjadi dosen.
    Agus mengakui, concern mahasiswa dalam bidang penelitian memang rendah, seperti dituturkannya, "Saya sendiri heran dengan mahasiswa sekarang. Jangankan melakukan penelitian, membaca saja malas.” Masa kerja peneliti di PPK terikat pada institusi, bukan pada proyeknya. Jadi meskipun proyeknya sudah selesai, kalau penilaian lembaga terhadap kinerja orang itu bagus, kontraknya bisa diperpanjang untuk proyek-proyek berikutnya.
    Lain halnya di PUSPAR. Di sini peneliti hanya dari kalangan dosen. Sedangkan mahasiswa dilibatkan dalam kegiatan penelitian melalui lomba yang diselenggarakan PUSPAR. "Lomba itu hanya sebagai sebuah wacana akademik," kata Hendrie

Peran Lembaga Penelitian
    Selama ini Lembaga Penelitian di tingkat universitas kurang begitu berperan untuk mengkoordinasi seluruh pusat studi di UGM. Seperti yang diusulkan Agus, seharusnya Lembaga Penelitian melakukan redefinisi peranannya. “Aktivitas PPK tidak terkait langsung dengan lembaga tersebut. Seperti masalah pencarian donor agency untuk membiayai proyek PPK yang bisa mencapai miliaran rupiah, selama ini dicari sendiri oleh PPK,” tambah Agus.
    Lemahnya fungsi koordinasi juga diakui oleh Dr. Edhi Martono, M.Sc., sekretaris Lembaga Penelitian. Selama ini peran Lembaga Penelitian hanya sebatas koordinator pusat-pusat studi dan lembaga penelitian tingkat fakultas. Lembaga ini tidak mempunyai wewenang atau kebijakan yang jelas terhadap penelitian-penelitian yang dilakukan atas kerjasama dengan lembaga di luar UGM atau lembaga di luar negeri.
    Secara periodik, Lembaga Penelitian memperoleh dana, selain dari UGM juga dana dari luar negeri, seperti Dana Hibah Bersaing, RUT, MA dan DIKS. Sayangnya, anggaran dana dari UGM untuk penelitian sangat minim. Hanya sekitar 1,5 sampai 4 juta untuk tiap penelitian. Minimnya dana ini jelas berpengaruh pada output penelitiannya.
    Dana-dana yang diperoleh tersebut kebanyakan ditawarkan ke fakultas-fakultas untuk diperebutkan. Pihak fakultas dapat menyusun proposal penelitian. Proposal yang disetujui mendapatkan dana tersebut. Koordinasi Lembaga Penelitian memang lebih banyak ke fakultas, karena pusat-pusat studi relatif lebih mandiri.                                              Tiap bulan Lembaga Penelitian mengadakan pertemuan untuk berbagi informasi tentang penelitian yang dilaksanakan. Namun hal ini menurut Agus tidak efektif, "Saya sering bingung, untuk apa sebenarnya tujuan pertemuan ini.”
    Untuk rencana ke depan, lembaga ini sedang memformulasikan perannya sebagai think tank penelitian di UGM, bukan sekedar menjadi pegawai administrasi.

Malla
Laporan: Ella, Zaki, Didik