log.gif (13574 bytes)
  Indeks  | Daftar Berita | Sapa Kami Pengelola

15 mei 2001  
Menikah Saat Masih Kuliah, Kenapa Tidak?

    Menikah adalah salah satu contoh kebutuhan (dan tentu juga keinginan) manusia yang sulit prediksi kemunculannya. Sering kali rasa membutuhkan (dan keinginan) untuk menikah datang pada saat masih dalam status mahasiswa. Tak sedikit mahasiswa UGM yang memutuskan untuk menikah walau dia masih harus kuliah.
   
    Keputusan untuk menikah, apalagi yang bukan karena "terpaksa harus menikah", tentunya bukan keputusan yang mudah dan minim resiko. Banyak faktor yang mendorong seorang mahasiswa untuk menikah saat dia masih harus kuliah. Fenomena menikah sambil kuliah juga pernah menggejala pada dekade 60-70-an. Dulu hal ini umum terjadi karena masa studi yang lama, bisa mencapai belasan tahun.
    Nikah sambil kuliah sempat menjadi hal yang langka. Pergeseran, perkembangan budaya dan trend barangkali menjadi suatu pendorong untuk "tetap sendiri" sampai menyelesaikan masa perkuliahan. "Untuk apa nikah cepet-cepet, ntar juga nikah, dan lagian kalau menikah sekarang malah membuat kita bingung ngurusin kuliah dan tanggungan," ujar Eko, mahasiswa Fisika 99. Dengan adanya istri atau suami dan ditambah hadirnya anak tentu akan menambah perhatian ekstra bila dibanding dengan mahasiswa yang tidak menikah. Dan sepertinya nikah sambil kuliah kembali menjadi trend. Fenomena ini diambil oleh seorang mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga sebagai tema dalam skripsinya. Yang menarik di skripsi tersebut, dikatakan mahasiswa yang berkeputusan menikah justru banyak yang berasal dari perguruan tinggi berlatar belakang keagamaan atau mahasiswa yang mempunyai pengalaman berorganisasi keagamaan. Lebih menarik lagi, angka nikah siri (nikah tanpa didaftarkan ke Kantor Urusan Agama /KUA) jumlahnya cukup banyak bila tak mau disebut lebih banyak.

Butuh dan Mampu
    Anto, mahasiswa Psikologi 96 yang bulan April lalu baru saja melangsungkan pernikahan dengan teman kuliahnya, mengatakan telah memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapi setelah menikah nanti. "Saya malah mendapat dukungan dari teman-teman untuk menikah," tambah Anto. Pasangan yang sudah berpacaran dua tahun ini memutuskan menikah karena merasa sudah siap dan dapat bertahan jika menikah, dan mereka berpendapat dengan menikah berarti menghindari zina dan menjalankan sunnah Nabi Muhammad.
    Pihak orang tua yang menjadi "tempat perizinan terakhir" untuk menikah awalnya memberikan saran untuk menikah setelah lulus, dengan meyakinkan mereka tentu saja mereka mendapat restu dari orang tua mereka. "Meyakinkan orang tua dia (istrinya-red) agak sulit juga!" tambah Anto.
    Lain dengan Abi, mahasiswa Teknik Mesin ‘97, dan Aning, mahasiswa Geografi ’98, yang menikah pada 25 November 2000, mengaku tidak menjalani proses pacaran sebelumnya. Inisiatif untuk menikah datang dari mereka sendiri. Ketika ditanya tentang status pernikahannya di KUA, Abi menjelaskan bahwa dia belum mendaftarkannya ke KUA. "Saya menikah tidak dengan siri, arti siri itu sendirikan ditutupi atau disembunyikan, sedangkan saya dan dia tidak menutupinya, teman-teman saya mengetahuinya.”
    Walau sudah dapat tinggal serumah, Abi lebih memilih pisah tempat tinggal dan menunda untuk punya anak, dengan alasan menyelesaikan perkuliahan dengan baik.

Broken Home
    Hal lain yang mendorong untuk menikah tentu saja ada, lain halnya dengan Guni (bukan nama sebenarnya), mahasiswa Teknik ‘99, memutuskan menikah karena persamaan keadaan. "Saya dan dia (istrinya-red) sama-sama datang dari keluarga yang nggak utuh lagi, orang tua kami sudah cerai lama. Jadi kami tidak perlu minta izin mereka untuk menikah," katanya. Sebagaimana yang diutarakan Guni lagi, mereka akan lebih bahagia jika cepat menikah tanpa harus memikirkan keadaan keluarganya yang sudah tidak menentu lagi.
    Ketika ditanya dalam memenuhi kebutuhan keseharian, baik Anto, Abi dan Guni masih menerima kiriman dari orang tua mereka selain berusaha memenuhi kebutuhan sendiri. Banyak kesempatan yang bisa diambil seperti bekerja part time di sebuah yayasan sebagai konsultan, dan sebagai tentor pengajar bidang studi.
    Ada juga teman mereka yang sering memberi bantuan walau tanpa diminta. Mogel, mahasiswa Psikologi ‘99, yang sudah memiliki putri berusia dua bulan ini, selain menerima kiriman orang tua dan usaha sendiri, juga sering terbantu oleh teman-temannya. "Untuk kemungkinan untuk menerima beasiswa barangkali memang sudah tertutup, tapi untuk pekerjaan tidak semua lowongan pekerjaan mengharuskan untuk tidak menikah saat mendaftar," lanjut Anto.
    Mungkin kesan yang diterima bagi beberapa orang begitu klise tentang pendapat mereka untuk menikah saat menyelesaikan kuliah, namun tidak bagi yang lainnya, setidaknya bagi mereka yang memutuskan untuk menikah pada saat mereka menuntut ilmu, karena ada keyakinan bahwa mereka mampu untuk menyelesaikan dan menghadapi hal-hal yang mungkin dihadapi terhadap langkah yang mereka ambil ini. Kalau anda merasa mampu, mengapa tidak?
Cb
Laporan : Dina, Uchie.