log.gif (13574 bytes)
  Indeks  | Daftar Berita | Sapa Kami Pengelola

15 mei 2001  
Berburu Buku Terlarang

    Mahasiswa pecinta buku di Jogja sempat terkejut dengan adanya aksi sweeping buku-buku ‘berbau kiri’. Mereka yang belum sempat membeli langsung sibuk berburu.

    Novel tetralogi buru karya Pramoedya Ananta Toer mendadak kembali menjadi ‘barang langka’ yang tidak bisa ditemukan di toko-toko buku.     Begitu juga buku-buku yang jadi target sweeping lainnya seperti Madilog-nya Tan Malaka, dan juga Karl Marx karangan Franz Magnis Suseno.
    Masyarakat pecinta buku sempat terseret arus. Mereka sibuk mencari buku yang masuk dalam daftar sweeping. Mendatangi setiap toko buku dan tidak akan berhenti sebelum menemukan buku yang dicari. Mereka berani membayar berapa pun harga yang ditawarkan oleh penjual, yang penting buku yang telah menjadi langka itu berada ditangan.
    Berita tentang sweeping buku di media massa daerah justru menyebabkan buku ini semakin dicari. Ini diakui oleh Inem (bukan nama sebenarnya). "Sebenarnya aku pengen beli Tetralogi karangan Pramoedya Ananta Tour sejak dulu. Tapi males, habisnya ada empat jilid dan tebal. Tapi gara-gara ada sweeping aku jadi beli, mumpung bukunya masih ada," katanya sambil tersenyum.

Sweeping di Yogya
    Tentang sweeping yang dilakukan Polda DIY sudah diketahui oleh beberapa penjual buku. Salah seorang penjual yang tidak mau disebutkan namanya mengaku bahwa banyak teman seprofesinya menyuruh menyimpan buku bertema revolusi, berwarna merah dan bergambar paluarit. "Ngeluarinnya besok-besok saja. Selain itu tidak semua toko atau kios buku terkena razia," jelasnya.
    Agus, seorang penjaga toko buku Raja Murah di jalan gejayan no 43 mengatakan bahwa kiosnya dan Toko Social Agency disebelahnya tidak terkena sweeping.
    Saat ini buku yang ‘berbau kiri’ menghilang dari pasaran. Para penjual memilih untuk menyimpannya. Jika ada pembeli yang belum dikenal menanyakan salah satu dari buku tadi penjual memilih menjawab "kosong".

Pelanggaran Hak Kecerdasan
    Pecinta buku sempat dibuat marah dengan aksi sweeping buku. Mereka merasa tidak bebas lagi untuk membeli maupun membaca buku tersebut.
    Menurut mereka pelarangan ini bertentangan dengan Hak asasi manusia dibidang sosial dan kebudayaan yang membebaskan setiap manusia untuk mendapat pendidikan dan pengajaran dan mengembangkan kebudayaan yang disukai.   
    Fauzan, mahasiswa Fakultas Filsafat sekaligus pecinta buku merasa kecewa dengan aksi sweeping buku dengan memakai justifikasi Tap MPR No XXV/ tentang larangan hidupnya Ideologi Komunis di negeri ini. "Dalam UUD 45 yang kedudukannya lebih tinggi ada kalimat "mencerdaskan kehidupan bangsa' jadi buku bertemakan revolusi diperbolehkan untuk keperluan akademis," tegasnya.
    Hal senada juga diungkapkan oleh Ignas K.M, aktivis Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi. "Pelarangan buku tadi menghambat ruang gerak demokrasi. Hal ini sama saja dengan menghambat pers untuk berfikir bebas,"jelasnya.
    Pertanyaan tentang latar belakang sweeping buku diungkapkan oleh Purnomo, aktivis HMI komisariat FISIPOL. "Kenapa buku harus ditakuti. Pelarangan buku hanya dilakukan oleh orang yang kurang kerjaan. Padahal konsumen buku terlarang terbatas. Mereka adalah orang yang mampu menggunakan otaknya. Jadi mereka dapat memilah dan memilih yang baik. Ajaran mana yang perlu dianut dan yang hanya untuk menambah wawasan," katanya.
    Pendapat berbeda tentang sweeping buku diungkapkan oleh Ito, mahasiswa D3 Kearsipan angkatan 99. "Buku terlarang itu bisa mengkontaminasi pikiran kita. Masih banyak buku lain yang lebih baik untuk dipelajari.Buku-buku kiri tadi diperlukan untuk sekadar tahu saja,"tuturnya kalem.

Lutfhi