15 mei 2001
Berburu Buku Terlarang
Mahasiswa pecinta buku di
Jogja sempat terkejut dengan adanya aksi sweeping buku-buku berbau kiri.
Mereka yang belum sempat membeli langsung sibuk berburu.
Novel tetralogi buru karya Pramoedya Ananta Toer mendadak kembali
menjadi barang langka yang tidak bisa ditemukan di toko-toko buku.
Begitu juga buku-buku yang jadi target sweeping lainnya seperti
Madilog-nya Tan Malaka, dan juga Karl Marx karangan Franz Magnis Suseno.
Masyarakat pecinta buku sempat terseret arus. Mereka sibuk mencari buku
yang masuk dalam daftar sweeping. Mendatangi setiap toko buku dan tidak akan berhenti
sebelum menemukan buku yang dicari. Mereka berani membayar berapa pun harga yang
ditawarkan oleh penjual, yang penting buku yang telah menjadi langka itu berada ditangan.
Berita tentang sweeping buku di media massa daerah justru menyebabkan
buku ini semakin dicari. Ini diakui oleh Inem (bukan nama sebenarnya). "Sebenarnya
aku pengen beli Tetralogi karangan Pramoedya Ananta Tour sejak dulu. Tapi males, habisnya
ada empat jilid dan tebal. Tapi gara-gara ada sweeping aku jadi beli, mumpung bukunya
masih ada," katanya sambil tersenyum.
Sweeping di Yogya
Tentang sweeping yang dilakukan Polda DIY sudah diketahui oleh beberapa
penjual buku. Salah seorang penjual yang tidak mau disebutkan namanya mengaku bahwa banyak
teman seprofesinya menyuruh menyimpan buku bertema revolusi, berwarna merah dan bergambar
paluarit. "Ngeluarinnya besok-besok saja. Selain itu tidak semua toko atau kios buku
terkena razia," jelasnya.
Agus, seorang penjaga toko buku Raja Murah di jalan gejayan no 43
mengatakan bahwa kiosnya dan Toko Social Agency disebelahnya tidak terkena sweeping.
Saat ini buku yang berbau kiri menghilang dari pasaran.
Para penjual memilih untuk menyimpannya. Jika ada pembeli yang belum dikenal menanyakan
salah satu dari buku tadi penjual memilih menjawab "kosong".
Pelanggaran Hak Kecerdasan
Pecinta buku sempat dibuat marah dengan aksi sweeping buku. Mereka
merasa tidak bebas lagi untuk membeli maupun membaca buku tersebut.
Menurut mereka pelarangan ini bertentangan dengan Hak asasi manusia
dibidang sosial dan kebudayaan yang membebaskan setiap manusia untuk mendapat pendidikan
dan pengajaran dan mengembangkan kebudayaan yang disukai.
Fauzan, mahasiswa Fakultas Filsafat sekaligus pecinta buku merasa
kecewa dengan aksi sweeping buku dengan memakai justifikasi Tap MPR No XXV/ tentang
larangan hidupnya Ideologi Komunis di negeri ini. "Dalam UUD 45 yang kedudukannya
lebih tinggi ada kalimat "mencerdaskan kehidupan bangsa' jadi buku bertemakan
revolusi diperbolehkan untuk keperluan akademis," tegasnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ignas K.M, aktivis Liga Mahasiswa
Nasional untuk Demokrasi. "Pelarangan buku tadi menghambat ruang gerak demokrasi. Hal
ini sama saja dengan menghambat pers untuk berfikir bebas,"jelasnya.
Pertanyaan tentang latar belakang sweeping buku diungkapkan oleh
Purnomo, aktivis HMI komisariat FISIPOL. "Kenapa buku harus ditakuti. Pelarangan buku
hanya dilakukan oleh orang yang kurang kerjaan. Padahal konsumen buku terlarang terbatas.
Mereka adalah orang yang mampu menggunakan otaknya. Jadi mereka dapat memilah dan memilih
yang baik. Ajaran mana yang perlu dianut dan yang hanya untuk menambah wawasan,"
katanya.
Pendapat berbeda tentang sweeping buku diungkapkan oleh Ito, mahasiswa
D3 Kearsipan angkatan 99. "Buku terlarang itu bisa mengkontaminasi pikiran kita.
Masih banyak buku lain yang lebih baik untuk dipelajari.Buku-buku kiri tadi diperlukan
untuk sekadar tahu saja,"tuturnya kalem.
Lutfhi
|