Ikut KKN Tak Harus Repot

Tidak boros, tidak perlu mondok, digaji pula! Inilah format baru KKN yang mulai diberlakukan Semester Pendek mendatang. Benarkah KKN Wirausaha ini akan memudahkan mahasiswa?

KKN alternatif model baru ini merupakan simbiosis antara UGM melalui Lembaga Pengabdian pada Masyarakat (LPM), Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Small Medium Enterpreneur Development Centre (SMEDC), sebuah proyek turunan Pos Ekonomi Rakyat UGM yang bertujuan membina dan melakukan pendampingan terhadap pengusaha kecil dan menengah.
KKN Wirausaha mungkin akan sangat berbeda dengan beberapa format KKN sebelumnya. Pada "kloter percobaan" Juli mendatang, UGM hanya akan mengirim 50 peserta dari seluruh UGM yang telah melalui serangkaian seleksi yang dilakukan LPM dan SMEDC. Memang tidak mudah. Untuk mendaftar saja, mahasiswa yang bersangkutan harus memiliki IPK minimal 3,0 setelah menempuh 110 sks.

"Digaji”
Peserta KKN Wirausaha nantinya akan menjalani "masa bakti" selama 5 bulan, dengan satu setengah bulan pembekalan dan tiga setengah bulan di lapangan, termasuk untuk evaluasi dan penyusunan laporan. Selama observasi, mahasiswa tidak perlu "mondok" karena lokasi KKN relatif dekat dengan kampus UGM. "Cukup nglaju saja," ujar Masykur Rakhmat, Ketua Pusat Pengelolaan dan Pengembangan KKN UGM. Dengan begitu, peserta KKN masih bisa aktif kuliah karena hanya akan berada di lokasi dua sampai tiga kali dalam seminggu.
Karena sistem nglaju ini, otomatis tidak ada uang makan dan transpor yang harus dibayarkan mahasiswa kepada universitas, sehingga cicilan KKN yang telah dibayar akan dikembalikan. "Bahkan setiap peserta akan diberi uang saku sekitar 300 ribu rupiah," tukas Prof.M.Soejono, Ketua SMEDC. "Karena kita bekerja sama dengan BRI, jumlah tersebut tidak terlalu berat untuk ditanggung UGM," tambah Masykur Rakhmat di tempat terpisah menanggapi kekhawatiran UGM akan nombok dengan sistem baru ini.

Minim Sosialisasi
Dalam pelaksanaannya nanti, setiap peserta KKN akan mendampingi dua orang pengusaha kecil dan menjadi konsultan manajemen, keuangan, kepemimpinan, kualitas produk dan hal-hal lain yang dianggap perlu. Ini setelah dilakukan pendataan terhadap seluruh pengusaha kecil yang ada di DIY. "Sejalan dengan program SMEDC yang ingin melakukan pendampingan terhadap pengusaha kecil di bidang kerajinan, agribisnis dan agroindustri," tutur Soejono.
Pada umumnya, mahasiswa yang ditemui Bulaksumur Pos menyambut positif "niat baik" ini. Agus, mahasiswa F-MIPA yang hadir dalam Presentasi tim SMEDC menyebut KKN Wirausaha ini akan menjadi ajang bagi mahasiswa untuk terjun ke dunia riil dan menjalankan pengabdian kampus terhadap masyarakat. Hal senada diungkapkan Ika, mahasiswa Komunikasi yang akan mengambil KKN Semester Pendek mendatang. "Ini bentuk pengabdian yang lebih konkret dan sangat berguna bagi mahasiswa yang punya banyak aktivitas," ujarnya.
Yang agak disayangkan, program ini sangat minim sosialisasi. Tidak banyak mahasiswa yang tahu tentang KKN alternatif baru ini. Padahal, ini merupakan peluang emas untuk menghemat biaya dan waktu. "Yang kami tahu tentang KKN baru ini cuma lamanya, yaitu 5 bulan," keluh Agus. Masykur mengakui mungkin pihak universitas kurang melakukan sosialisasi yang lebih luas, meskipun pengumuman sebenarnya sudah disebarkan ke semua fakultas. Alhasil, sampai 30 April kemarin, batas akhir pendaftaran, masih banyak mahasiswa yang belum tahu menahu soal ini.

Alternatif Lain
Sebenarnya KKN Wirausaha bukan merupakan satu-satunya alternatif yang ditawarkan universitas. Masih ada dua konsep yang sedang digodok. Pertama, KKN yang dilakukan bekerjasama dengan Departemen Kesehatan melalui program studi Ilmu Keperawatan, yang rencananya akan dibuka September mendatang. Kedua, KKN untuk mengakomodasi kelompok mahasiswa yang telah bekerja dan masih ingin melanjutkan kuliahnya. "Tapi baru KKN Wirausaha yang bisa segera dilakukan," ungkap Masykur Rakhmat.
Masih banyak pihak yang mempertanyakan perangkulan BRI dan SMEDC dalam pelaksanaan KKN ini. Termasuk masalah transparansi dana yang tertulis dalam kerjasama. "Meskipun program ini sepintas tampak menguntungkan mahasiswa, masyarakat kampus tetap perlu tahu bagaimana kontrak antara universitas dengan pihak-pihak itu," tukas Anti, mahasiswa Fisipol yang mengaku dilematis dengan pelaksanaan KKN .
Sampai saat ini memang baik LPM maupun SMEDC masih enggan menyebutkan nilai nominal kontrak sehubungan dengan pelaksanaan KKN.

Rheen