log.gif (13574 bytes)
  Indeks  | Daftar Berita | Sapa Kami Pengelola

Antara Misi dan Hura-hura 

Naik, naik ke puncak gunung... tinggi, tinggi sekali. Kiri kanan kulihat saja banyak pohon cemara....

          Demikian salah satu bait lagu anak-anak yang berisi ajakan untuk menikmati alam, lebih khusus lagi mendaki gunung. Lagu itu pula yang mungkin menginspirasi beberapa kelompok mahasiswa untuk membentuk perkumpulan. Sehingga kini kita tidak asing lagi dengan maraknya kelompok yang mengatasnamakan dirinya sebagai organisasi pecinta alam. Namun di tengah menjamurnya kegiatan ini, banyak pihak yang masih meragukan hubungan antara nama dan kegiatan yang mereka lakukan. Lantaran masih sedikit kelompok yang serius melakukan konservasi alam. Bahkan lebih parah lagi, banyak kelompok yang menyebut dirinya pecinta alam walaupun hanya melakukan kegiatan yang sifatnya hura-hura.

Motivasi
          
Persepsi itu dibenarkan oleh Cilo, seorang aktivis Setrajana, kelompok pecinta alam Fisipol. Menurutnya, motivasi seorang untuk mendaki gunung adalah bersenang-senang dan untuk menambah "jam terbang" menaklukkan gunung. "Biasanya memang untuk having fun," kata Cilo. Tapi dia juga menambahkan bahwa di Setra, unsur hura-hura itu diimbangi dengan satu misi tertentu. Hal senada juga diungkap oleh Braok, yang aktif di Kapala Sastra. "Anggota-anggota baru biasanya ingin menyalurkan hobi mereka," kata Braok.
        Lebih jauh lagi Braok mengatakan bahwa anggapan anggota pecinta alam hanya berhura-hura diperkuat dengan munculnya para pendaki "liar" yang naik gunung hanya untuk senang-senang dan gagah-gagahan saja, bahkan tindakan mereka tidak jarang justru merugikan lingkungan misalnya memetik bunga Edelweis yang termasuk flora dilindungi.
Berkaitan adanya image anggota Mapala yang mabuk-mabukan saat mendaki, Cilo dengan tegas menolak hal tersebut terjadi di Setra. "Kalaupun itu ada, mungkin itu hanyalah oknum, tetapi selama ini saya belum pernah menyaksikan tuh !" tutur Cilo ketika ditemui Bul Pos di sekretariatnya.

Penguasa kampus
        
Tidak menutup mata, mapala saat ini dianggap sebagai penguasa kampus yang siang malam hidup di kampus dengan atribut-atributnya. Menurut Braok, kesan itu hanyalah kesan personal yang ditujukan para individu-individu tertentu. "Kalau di Kapala, kesan itu mungkin lebih pada intensitas kerja yang dilakukan oleh anggota Kapala. Bahkan hampir tiap kerja yang diadakan di fakultas, anak-anak Kapala ikut.” Menyoal atribut yang dipakai, Braok kembali memandang hal tersebut lebih pada individual saja. Secara lembaga Kapala tidak melarang bagi anggota untuk mengenakan atribut- tertentu sejauh itu tidak mengganggu.
        Ketika ditanya tentang peran yang diambil oleh Mapala terhadap lingkungan, Cilo mengungkapkan bahwa kegiatan itu diawali dari hal-hal kecil seperti memungut sampah. Selain itu kegiatan besar seperti reboisasi pernah juga dilakukan oleh Setra. Langkah maju juga telah di tempuh oleh Kapala dengan bekerja sama dengan LSM Hijau. Seperti diungkapkan Braok, "Hijau adalah LSM yang murni bergerak di bidang lingkungan yang didirikan oleh alumnus Kapala. LSM tersebut menyediakan tempat bagi anggota Kapala yang benar-benar ingin berperan dalam penyelamatan lingkungan. Kapala sendiri mengaku sering melakukan kegiatan bersih-bersih di kampus sebagai bentuk nyata kepedulian pada lingkungan.”
        Menggaris bawahi kata Braok, memang upaya riil penyelamatan lingkungan selama ini lebih banyak dilakukan oleh LSM-LSM lingkungan. Mapala yang menyandang nama “pecinta alam” mestinya jangan hanya menjadi “penakluk alam” saja.


Guntur