Merak Itu Akhirnya Mati
Penangkaran Merak Hijau (Pavo muticus) di Fakultas Kehutanan perlu dikritisi. Satu dari tiga merak, mati. Benarkah penangkaran ini untuk penelitian atau sekedar perhiasan yang menyalahi fungsi konservasi?
Dua minggu yang lalu, tepatnya 14 Februari, Merak Hijau betina yang ditangkar di Fakultas Kehutanan (FKT) akhirnya mati. Sebelumnya, dalam sangkar berukuran 1,5 m x 1 m x 2 m terdapat dua Merak Hijau jantan dan satu Merak Hijau betina. Ukuran kandang yang tidak proporsional disinyalir sebagai penyebab kematian.
Menurut Iwan, karyawan fakultas yang sehari-hari mengurusi merak, satwa yang tergolong langka tersebut mati karena sayapnya patah. Ceritanya, pada malam hari, merak-merak itu diberi makan. Karena musim kawin, merak jantan mulai menarik perhatian merak betina dengan memekarkan bulu ekornya, sambil mengejar. Kondisi kandang yang sempit membuat merak betina menabrak kandang. Alhasil, sayap si betina patah. "Tanda-tanda sebelum mati, mungkin karena keterbatasan gerak pada musim kawin itu, jadi sayap si betina patah, kemudian infeksi," kata Iwan menjelaskan. Hal senada diungkap Ige, aktivis Kelompok Peminat Pemerhati dan Pecinta (KP3) Burung. "Kalau merak ini dilepas di habitat asli, tidak akan terjadi hal seperti manabrak kandang tersebut, karena pada habitat asli, gerak merak tidak terbatas," tukas Ige.
Merak ini sempat dibawa ke dokter hewan dan diberi obat. "Ketika pagi, saya masih menjemurnya di rumput dan masih terlihat sehat, namun ketika saya ingin memberi obat siang, dia sudah nggak berdaya lagi," cerita Iwan.
Padahal bila dilihat dari segi perawatan cukup baik. Makanan yang diberikan sehari-hari adalah campuran jagung dengan beras merah, BR (sejenis makanan unggas) dan seminggu dua kali diberi kangkung. Perawatan kandang dilakukan dua hari sekali dengan menyemprot kandang, bagian bawah ditaburi pasir seolah-olah seperti tanah. Merak ini sempat bertelur antara 10-15 butir, namun tidak dierami.
Fakultas lepas tangan
Penangkaran unggas cantik ini sejak awal mengundang kontroversi. KP3 Burung sejak semula menolak adanya penangkaran di kampus. Chris, mahasiswa jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan (KSDH), sangat tidak setuju dengan penangkaran ini. "Karena UGM adalah institusi pendidikan bukan tempat penangkaran hewan," tegasnya.
Apabila dilihat dari segi hukum, KP3 Burung sudah mengadakan pengecekan di Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Yogyakarta. Ternyata pihak fakultas belum mengajukan izin untuk penangkaran yang komersial ataupun yang non komersial. Padahal, yang digembar-gemborkan oleh pihak fakultas adalah penangkaran dengan tujuan ilmiah. Namun realitasnya merak tersebut dijadikan gengsi dan hiasan kampus saja, nilai risetnya jadi terkesampingkan.
Menyikapi persoalan ini, KP3 Burung telah mengadakan aksi dan seminar yang tujuannya menggulirkan wacana di fakultas. Karena tujuan utama penangkaran adalah melepaskan kembali ke habitat asli. "Jadi hasil penangkaran harus dilepas, bukan untuk tujuan komersial," kata Ige. Selain itu, KP3 Burung juga melaksanakan aksi diam, dengan menggunakan pakaian hitam-hitam sebagai bentuk penolakan.
Menurut Ige, fakultas terlihat tidak bertanggung jawab." Ini namanya pembantaian satwa yang sudah dilindungi fakultas," tukasnya. Sejak awal KP3 Burung sudah mengingatkan bahwa kandang yang disediakan terlalu kecil untuk menampung tiga merak sekaligus. Komposisinya pun sudah tidak benar lagi. "Padahal Pak Djuwantoko, Pembantu Dekan (PD) III FKT, telah menjanjikan kandang yang lebih proporsional. Tapi sampai merak itu mati ternyata belum dibuat juga," keluh Chris. Sementara itu Itong, aktivis KP3 Burung memandang persoalan lebih netral. "Selama penangkaran sesuai dengan prosedur yang ada, maksudnya harus ada izin dari Menteri Kehutanan, nggak masalah," ujarnya.
Masih menurut Ige, awalnya penangkaran ini untuk penelitian. "Kalau fakultas benar-benar bertanggung jawab, ya, penelitian dong, bikin seminar atau apa kek!" tegas Ige. Hasil penelitiannya sampai saat ini belum terbukti. "Dan mereka enggan memberi keterangan apa yang selama ini sudah dihasilkan dari penelitian tersebut," tambahnya.
Ironisnya, setelah satu merak mati, fakultas lepas tangan dan menyerahkan penanganannya pada KP3 Burung. Meskipun kesal dengan sikap fakultas, KP3 Burung tidak terus ogah mengurusi merak tersebut. Mereka tidak melihat ini sebagai beban tanggung jawab, tapi mereka justru melihat "perikehewanannya". KP3 Burung, saat ini tengah mencari alternatif penangkaran merak selanjutnya. Di antaranya di Bunder, Pusat Penangkaran Satwa milik Badan Konservasi Sumber Daya Alam (KSBA) atau di Kebun Binatang Gembiraloka.
Nissa