log.gif (13574 bytes)
  Indeks  | Daftar Berita | Sapa Kami Pengelola

Menggugat Presensi Kuliah

        Kewajiban Mahasiswa adalah membayar SPP, ada pun masalah hadir tidaknya dalam perkuliahan itu hak mahasiswa. Benarkah?
Perdebatan mengenai perlu atau tidaknya presensi (daftar hadir kuliah) bagi mahasiswa akhir-akhir ini marak dengan adanya isu akan diberlakukannya presensi kuliah minimal 75%. Jika kurang, mahasiswa tidak diperkenankan mengikuti ujian akhir semester atau dicekal nilai ujiannya.
        Seperti diungkapkan oleh Pembantu Dekan I Fakultas Psikologi, Dr Sugianto, diberlakukannya aturan presensi minimal 75% sudah ada sejak lahirnya sistem SKS. Hal ini merupakan wujud tanggung jawab Universitas sebagai instansi pendidikan yang tidak hanya mengajarkan pengetahuan tetapi juga ahklak dan sosialisasi. Alasan tersebut lebih tertuju pada Universitas sebagai orang tua kedua bagi mahasiswa. Dengan ketentuan presensi minimal 75% frekuensi sosialisasi antar mahasiswa lebih besar.

Sebuah keterpaksaan
        
Pendapat berbeda disampaikan Misnal Munir, dosen Fakultas Filsafat. Diberlakukannya aturan ini membuat mahasiswa terpaksa mengikuti kuliah. Dosen yang berkantor di Pusat Studi Pancasila ini mengaku tidak memperhitungkan presensi mahasiswa dan tidak menjadikannya sebagai dasar penentuan nilai. Dia tidak menginginkan mahasiswa mengikuti kuliahnya karena terpaksa, tidak sungguh-sungguh belajar, sehingga sia-sia saja kuliah diadakan. 
        Di samping itu, muncul kebiasaan baru mahasiswa menitipkan presensi pada temannya, karena beresiko tidak boleh ikut ujian. Sedangkan jika presensi dihapus , Misnal mempertanyakan apakah mahasiswa Indonesia mempunyai semangat yang sama dengan di luar negeri dalam menambah pengetahuan secara otodidak.
        Menurut Dina, mahasiswi fakultas Ekonomi jurusan Akuntansi '98, untuk menjaga citranya UGM harus memberlakukan presensi minimal 75%. "Masa‘ mahasiswa UGM presensinya kurang dari 75%, itu terkesan tidak berkualitas," paparnya. Di Fakultas Ekonomi sendiri, jika ada mahasiswa yang tidak memenuhi presensi 75% maka nilai hasil ujiannya 'dicekal' atau diturunkan nilainya. 

Dilema Bagi Mahasiswa
        
Tapi di sisi lain muncul dilema di balik pemberlakuan presensi tersebut. Seperti yang dipaparkan Melanie Bayo mahasiswi Fakultas Isipol jurusan Sosiologi'99, banyak mahasiswa merasa tidak puas dengan apa yang diperoleh di kampus, sehingga mereka memilih mengikuti kegiatan ekstra kampus yang lebih memuaskan, walau harus meninggalkan proses belajar di ruangan.Jika aturan presensi diberlakukan, maka ruang gerak bagi mereka akan terbatas dan tidak ada lagi kompromi bagi mereka.   Hal ini menurut Lani tidak akan terjadi, jika kebijakan dimusyawarahkan kedua belah pihak. Namun pada kenyataannya mahasiswa hanya berfungsi sebagai obyek saja. Tentang ini Sugianto berpendapat, mahasiswa diharapkan memberikan feed back pada fakultas kalau ada ketidaksesuaian.
        Tidak semua dosen di fakultas menerapkan aturan presensi 75%. Masalah timbul ketika mahasiswa mengikuti ujian, seringkali bagian pengajaran/akademik melarang mahasiswa untuk mengikuti ujian. Hal ini terjadi karena memang pihak pengajaran berfungsi sebagi pelaksana aturan, bukan sebagai pembuat kebijakan, sehingga tidak bisa melakukan tawar- menawar dengan mahasiswa. Seperti yang dipaparkan oleh Drs. Adnand Sudibyo, BSc., selaku Kasubag Akademik Fakultas Kedokteran Hewan UGM, bahwa akademik hanya bertugas sebagai fasilitator yang menyiapkan sarana-sarana perkuliahan. Hal-hal lainnya merupakan kewenangan dari dosen pengampu, sehingga akademik tidak berhak memberi keputusan. Hal di atas bertentangan dengan pendapat Subroto selaku  Kasubag Pendidikan dari Fakultas Kedokteran Umum UGM. Menurut Subroto, presensi digunakan akademik sebagai alat untuk menentukan mahasiswa boleh ikut ujian atau tidak. Tapi di sini akademik tetap berfungsi sebagai pelaksana aturan, sebab kewenangan ada di tangan fakultas. Hal senada dilontarkan oleh Ibu Fatimah, staf bagian pengajaran Fakultas Ekonomi. "Presensi menjadi suatu keharusan bagi mahasiswa. Itu sudah aturan dari PD I, dan bagian pengajaran hanya mengikutinya.”

TataTertib Tidak Rasional
        
Selain ketentuan presensi 75%, tata tertib khusus mahasiswa mulai diterapkan secara serius di fakultas- fakultas tertentu.Tata tertib ini sebagian besar menyinggung penampilan fisik mahasiswa ketika masuk kampus atau mengikuti kuliah. Seperti di Fakultas Psikologi ,mahasiswa tidak diperbolehkan mengecat rambut warna-warni, memakai anting di hidung, berkaos oblong, atau merokok di ruangan. Bagi pelanggar dikenai sanksi tidak diperbolehkan mengikuti kuliah (diskors) dan tidak boleh ikut ujian akhir semester. Tata tertib ini sering dianggap tidak rasional oleh mahasiswa. Alasannya , apa hubungan memakai sandal jepit atau kaos oblong dengan keseriusan seseorang untuk belajar. 
        Menurut Sugianto, saat ditemui Bulaksumur Pos di ruang kerjanya, presensi dan tata tertib merupakan masalah kecil yang tidak perlu dibahas. "Saya memang belum tahu rasionalisasi dari tata tertib penampilan fisik seperti dilarang memakai kaos oblong atau sandal jepit waktu kuliah ,lain halnya jika itu menghambat proses belajar mengajar, saya setuju." Menurutnya pihak universitas memperhatikan hal ini lebih karena perubahan status UGM menjadi Universitas Berbadan Hukum. Suasana kampus yang rapi dan serius akan mempunyai nilai jual tersendiri bagi orang tua yang akan memasukkan anaknya ke bangku kuliah. Orang tua akan merasa aman menitipkan pendidikan moral anaknya di universitas yang rapi dan serius. Situasi ini diperlukan waktu otonomi kampus, semakin banyak yang kuliah di UGM akan semakin menguntungkan. Adanya aturan-aturan fisik seperti mahasiswa harus memakai sepatu, baju berkerah, dilarang menindik hidung atau mencat rambut berwarna-warni menurut Dina merupakan pendidikan sopan santun. "Kita kan bukan praktisi tapi intelektual yang nantinya akan bertemu dengan orang-orang elit. Jadi kita harus mengikuti semua itu." Disamping itu menurutnya aturan tersebut menjadi alat pembeda UGM sebagi institusi pendidikan dengan tempat umum seperti pasar. Masalahnya, apakah keseriusan hanya diukur dari penampilan fisik seseorang, semakin rapi berarti derajat keseriusannya semakin tinggi. Benarkah ?

Ambar
Laporan: Leila, Bedi