Life Fast Die Young....
......Life fast die young
We fast die young
(Rukhi, 7 Pebruari 1999)
Mati muda. Tampaknya memang itu yang selalu menjadi keinginan Masrukhi, anggota Mahasiswa Pecinta Alam Gadjah Mada (Mapa Gama) yang meninggal ketika mendaki Gunung Slamet. Kini ia benar-benar mati dalam usia muda, 24 tahun.
Berita duka meninggalnya Masrukhi, disampaikan Mapagama ke wartawan Minggu (11/2) malam. Aye, anggota Mapagama yang ditemui Bulaksumur Pos mengatakan sebelum berangkat tidak ada tanda-tanda akan terjadi sesuatu. “Biasa saja dan persiapan kami pun sudah memenuhi standar,” ujar Aye, yang juga mahasiswa Fisipol UGM '95.
Meninggalnya Masrukhi diduga karena ia terserang hipotermia, setelah 25 orang pendaki UGM di Gunung Slamet dilanda badai dingin. (baca juga: Gunung Slamet & Hipotermia) Ini menyulitkan kelompoknya karena di kelompok itu justru dialah yang menjadi pendampingnya.
Lulus Mei
Masrukhi, mahasiswa jurusan Administrasi Negara angkatan '95, saat ini sebenarnya tengah menyelesaikan skripsi tentang regulasi kelautan. Menurut Rahmat A, temannya satu angkatan, sebulan yang lalu mereka ketemu dan memasang target akan lulus Mei tahun ini.
“Terakhir ketemu bulan kemarin ketika saya baru pulang dari Palembang. Waktu itu kami makan empek-empek di kamarku,” katanya di Sekretariat Mapa Gama dengan mata berkaca-kaca.
Ketika Rahmat mendapat kabar Masrukhi meninggal, ia segera membeli koran untuk memastikan. Masih belum puas membaca koran, Rahmat datang langsung ke sekretariat Mapa Gama di Gelanggang Mahasiswa. Begitu mendapat kepastian Masrukhi yang di maksud benar-benar temannya, ia langsung terduduk lemas dan tidak mampu lagi menahan genangan air matanya.
Sambil terbata-bata Rahmat bercerita, Ukhi, panggilan akrab temannya itu, adalah anak yang cuek, lucu dan berani. “Pernah saat kuliah dia hanya mengenakan sandal jepit. Sudah gitu duduknya di depan. Merokok pula,” kenang Rahmat.
Masrukhi termasuk anak yang terbuka. Kamar kostnya ia relakan untuk ditempati televisi umum milik kost. Berarti setiap hari kamar berukuran 3 x 2,5 m itu selalu dipenuhi banyak orang.
Di kamar itu pula Ukhi mengekspresikan kegelisahannya. Ada beberapa lukisan karyanya ditempel di kamar itu. Beberapa lukisan nampaknya bertema sama. Gambar bunga mawar merah bertulis "Tapi untuk siapa?". Satu lukisan dia bingkai dengan puisi "lelah menghitung hari//berapa lama sang dewi yang membebaskan semua belenggu yang terus menyiksaku//..oh tuhan berilah kesempatan untuk mengemban amanatmu//untuk mencapai ridhomu//oh tuhan, aku lelah//dalam belenggu yang telah menawanku dalam kesunyian malam.
Awalnya Rahmat menyayangkan kematian temannya itu. “Pengalamannya sudah banyak,” katanya, “Belum lama ini dia ke Sulawesi untuk penelitian Burung. Sebelum itu ke Ujung Kulon juga untuk penelitian." Tapi ketika membaca puisi-puisi Ukhi, sadarlah ia bahwa teman karibnya sendiri sebenarnya ingin mati muda.
Udin
Baca juga "Gunung Slamet & Hipotermia"