log.gif (13574 bytes)
  Indeks  | Daftar Berita | Sapa Kami Pengelola
31/07/00
Penangkaran Merak Hijau di Fakultas Kehutanan UGM
Meneliti atau Mengejar Gengsi

Meniru keberhasilan Institut Pertanian Bogor(IPB) menangkar beberapa satwa liar, Fakultas Kehutanan UGM mulai mengadakan proyek serupa. Hasilnya, tiga ekor Merak Hijau bertengger apik di taman Fakultas Kehutanan. Sekedar mengejar gengsi ?   
Awalnya FKt bermaksud mengadakan penangkaran terhadap hewan yang di Pulau Jawa populasinya tinggal 1.272 sampai 1.721 ekor. "Selain itu, ya untuk riset dan kepentingan ilmiah lain,”ujar Dr. Ir. Djuwantoko, M.Sc., Pembantu Dekan (PD) I FKT.
Pada tanggal 24 Juni, di taman depan kantor Dekan Fakultas Kehutanan (FKt) UGM bertengger sepasang Merak Hijau (Pavo muticus). Burung-burung cantik tersebut adalah tangkaran KPH Purwodadi yang tidak terawat. Tiga hari kemudian jumlahnya bertambah satu menjadi tiga ekor.

Melanggar Hukum
Tetapi ternyata keberadaan satwa langka di UGM itu menyulut reaksi keras beberapa pihak, terutama mahasiswa yang tergabung dalam Kelompok Peminat, Pemerhati dan Pencinta (KP3) Burung. "Banyak yang belum jelas dalam penangkaran ini. Mulai dari asal-usul, konsep, sampai legalitasnya," tegas Ige, aktivis KP3 Burung.
Di kalangan Mahasiswa Kehutanan tersiar kabar bahwa salah satu Merak Hijau tersebut adalah milik pribadi Kuswanto, Dosen Budi Daya Hutan. Hal ini dibantah oleh Djuwantoko, yang menegaskan bahwa ketiga ekor merak murni pemberian KPH Purwodadi.
Dari aspek legal formal, pengalihan penangkaran merak dari Perhutani Purwodadi ke FKt UGM dianggap telah melanggar hukum. Karena mestinya semua jenis satwa liar dan dilindungi, termasuk Merak Hijau, tidak boleh dipindahtangankan atau diperjualbelikan, seperti yang diatur dalam UU No.5/1990 dan SK 301 Menteri Hukum. "Meskipun alasannya untuk riset, ini tetap melanggar hukum. Apalagi Fakultas Kehutanan belum mendapat rekomendasi dari Kanwil (Perhutani, red)," ujar Towetz Atmojo, Aktivis Kutilang Indonesia yang mengaku kurang setuju dengan program FKt ini.
Burung langka yang ditaruh dalam sangkar berukuran 1,5m x 1m x 2m memang menarik perhatian. Tak heran, banyak orang berdatangan sekedar untuk melihat. Padahal, merak jenis ini tidak suka keramaian. Akibatnya, merak-merak itupun stres. "Apalagi sangkarnya sangat kecil. Untuk mengepakkan ekor saja sulit, apalagi mau menarik perhatian lawan jenis," tutur Dian, Mahasiswa Jurusan Konservasi Hutan. “Hal ini tentunya berdampak negatif bagi kelanjutan proses reproduksi merak dan kelangsungan hidupnya.”

Perlu Introspeksi
Lepas dari masalah legalitas dan konservasi tadi, mereka juga disoroti adalah masalah tenaga ahli yang kompeten. Karena Merak Hijau adalah satwa langka kategori rentan (vulnerable), kelangsungan hidup dan regenerasinya perlu benar-benar diperhatikan. "Di Yogya cuma ada seorang spesialis merak, yaitu Sri Panuju, Pemda Kulonprogo. Apa FKt mampu membayar?" ujar Towetz meragukan.
Menurut Ige, jika memang Fakultas Kehutanan memiliki cukup dana, sebaiknya proyek yang dijalankan adalah konservasi insitu, atau habitat aslinya. Sedangkan, "Konservasi exsitu selama ini sudah banyak dilakukan oleh kebun binatang dan akuaria. Nggak perlu di fakultaslah!"tukasnya.
Dituntut ke pengadilan
Penangkaran Merak Hijau ini juga menyulut dugaan bahwa Fakultas Kehutanan UGM hanya mengejar prestise ingin menyaingi keberhasilan IPB yang berhasil menangkar Kera Ekor Panjang. Anggapan itu disangkal oleh, Djuwantoko. "Mahasiswa protes dan sebagainya karena mereka belum tahu saja," ujarnya tanpa bersedia menjelaskan lebih lanjut.ukan tidak mungkin kami akan menuntut Fakultas Kehutanan ke pengadilan jika tetap tidak menunjukkan itikad baiknya akan mengembalikan satwa-satwa langka itu ke habitat asalnya," tegas Towetz.

Marina
Laporan: Andari