Edisi 44-05/02/2002

Mengkritisi McDonaldisasi Kampus UGM

Dalam edisi sebelumnya telah disajikan bagaimana prinsip industri (kapitalisme) dengan logika restoran cepat saji McDonald's bekerja di UGM. Yakni melalui 4 prinsip McDonald's, yaitu efisiensi, keterprediksian, kuantifikasi, dan kontrol melalui tekonologi non-manusia. Seperti telah diketahui dalam era otonomi kampus, prinsip-prinsip tersebut telah menjadikan institusi pendidikan tinggi seperti universitas sebagai industri yang sophisticated.
Dalam edisi ini akan disajikan persepektif lain dalam memandang McDonaldisasi yang terjadi di UGM. Karena ternyata rasionalitas yang ditawarkan McDonaldisasi seringkali justru merupakan sesuatu yang irasional. Sehingga universitas akhirnya tidak menciptakan orang-orang smart, tatapi hanya sekedar knowledgeable. Suatu knowledge yang merupakan perangkat untuk bisa menopang masyarakat yang terindustrialisasi.

Rasionalitas yang irasional
Ketika Ritzer menyampaikan konsep McDonaldisasi dalam bukunya "McDonaldization of Society", sebenarnya ia sedang mengabstraksikan pemikiran Max Weber tentang rasionalitas. Max Weber, sosiolog asal Jerman ini, sangat kagum pada cara kerja birokrasi dengan paradigma rasionalitas formalnya. Dimana birokrasi mampu menangani wilayah kerja yang luas secara efisien, mengkuantifikasi segala sesuatu sebanyak mungkin, menjadikan semuanya terprediksi, dan melakukan kontrol lewat aturan, punishment, dan reward.
Meski pada tataran tertentu Weber (dan kemudian Ritzer) benar. Akan tetapi seringkali rasionalitas yang dipakai seringkali menimbulkan irasionalitas. Sehingga perubahan nilai ke arah yang lebih rasional pada sisi lain justru menghadirkan irasionalitas layaknya kandang besi (iron cage).
Kritik pertama terhadap McDonaldisasi yang berlangsung pada pendidikan tinggi ialah McDonaldisasi dianggap menjadikan keseluruhan proses pendidikan seperti proses pada rumah pengolahan daging. Proses irasional ini terjadi ketika mahasiswa dan dosen ditempatkan dalam suasana atmosfer pabrik. Dimana mahasiswa dan dosen memandang keseluruhan jalannya proses adalah sesuatu yang given dan take it for granted. Seluruh sistim pendidikan telah otomatis diatur bak mesin ban berjalan. Artinya mahasiswa hanyalah menjadi objek pendidikan belaka yang dipersiapkan untuk menopang masyarakat yang terindustrialisasi.
Kritik berikutnya adalah dalam McDonaldisasi juga terjadi proses dehumanisasi. Hal ini ditunjukkan lewat banyak contoh, misal besarnya kelas kuliah, pemberian skor dengan mesin, ataupun pengisian krs melalui komputer. Contoh di atas diperparah saat teknologi seperti CCTV (close circuit television), cd bahan ajar, atau radio dan tv pendidikan semakin berkembang dan mendukung kemunculan distance learning. Disinilah kemudian terjadi ketiadaan hubungan yang personal antara mahasiswa dengan dosen.
Kritik terakhir terhadap McDonaldisasi ditujukkan pada prinsip kuantifikasi. Prinsip ini membuat kulitas seluruh jalannnya proses pendidikan dilihat dari kuantitasnya. Pendeknya kuantitas menetukan kualitas. Mahsiswa baru bisa dibilang pintar kalau ber IP 3 koma dan lulus dalam 4 tahun. Kemampuan mahasiswa untuk layak ikut ujian ditentukan oleh seberapa sering mahasiswa kuliah.
Hal yang sama juga terjadi pada dosen. Kompetensi intelektual dosen seringkali dinilai lewat seberapa sering ia menulis pada jurnal. Kemudian seberapa tinggi rating jurnal tempat ia menulis. Tulisan yang berkualitas pada jurnal be-rating rendah tidak berarti apa-apa. Akhirnya mahasiswa atau dosen hanya berusaha mengejar kuantitas sebagai tolok ukur dalam suatu masyarakat yang industrial.

Esha

Powered by SKM UGM BULAKSUMUR, Bulaksumur B21 Jogjakarta 55281 fax (0274) 566711
email: bulaksumur@plasa.com
2 0 0 1