EDISI
38, 25 SEPTEMBER 2001 |
Basket
UGM dan Otonomi Kampus
UKM Basket
UGM baru saja mencatat prestasi mengesankan. Dalam LIBAMA (Liga Basket
Mahasiswa) Divisi I Wilayah DIY, tim kebangaan warga Gadjah Mada ini mampu
menumbangkan tim Universitas Janabadra dan meraih Juara I. Hasil ini mengantar
UGM ke LIBAMA tingkat nasional. Apa makna keberhasilan mereka di tengah
hirukpikuk otonomi kampus UGM?
Sejak UGM
ditetapkan sebagai Badan Hukum Milik Negara lewat PP No.153/2000 kontroversi
selalu tak terhin-darkan. Lewat PP itu, kampus dihalalkan mencari pemasukan
senidiri. Kini yang terpenting adalah menjaga supaya para birokrat kampus
bisa konsisten dengan pilihan tersebut. Kalau mau bisnis boleh, asal serius,
fair, dan transparan. Nah, inilah masalahnya selama ini. UGM terkesan
tidak konsisten pada pilihan industrialisasi.
Saat menyaksikan final LIBAMA, Kamis lalu, saya mengalami pengalaman yang
luar biasa. Saat pertandingan akan dimulai misalnya, Audi, Kusdiyanto,
Andri, dkk belum apa-apa sudah bikin fans histeris. Dengan lompatan menjulang
super tinggi, dilakukanlah gerakan memasukkan bola sambil menghentakkan
permukaan tangan ke ring. Sulit dibayangkan, gerakan trademark legenda
basket Michael Jordan ternyata mudah dilakukan pemain UGM. Kemudian, saat
pertandingan berlangsung, kehebatan pemain UGM makin menjadi-jadi. Penampilan
tim basket UGM layaknya orkestra yang harmonis. Point guard, Kusdiyanto
lewat dribble-dribble indah mengobrak-abrik pertahanan UJB. Audi bikin
pusing lawan lewat lesatan tembakan tiga angkanya. Semuanya mereka lakukan
dengan penghayatan tinggi. Lihat saja ekspresi pemain selepas mencatat
skor. Kepalan tinju, teriakan lengking, dan hormat pada penonton menambah
indahnya lanunan orkes.
Yang membuat keindahan kian sempurna adalah kehadiran Risdianto, sang
coach yang menjadi "star of the night". Tampil parlente dengan
kemeja lengan panjang dilinting dan potongan rambut klimis, Cak Risdi
menjadi konduktor orkestra yang menakjubkan. Malam itu, gaya pria kelahiran
Kediri itu sangatlah ekspresif. Di suatu waktu, ia tersenyum manis melihat
catatan skor. Di waktu lain, ia berubah cepat, memarahi wasit yang dianggapnya
kurang adil.
Pengalaman nonton basket tadi rupanya sangat menggelitik saya. Kalau saja
UGM jeli dalam menjalankan industrialisasi, maka seharusnya olahraga basket
yang digandrungi kaum muda bisa menjadi produk hiburan yang layak jual.
Ada beberapa poin yang menjadikan basket UGM memiliki nilai jual. Pertama,
tim basket UGM telah memiliki ikon. Dalam industri olahraga, kehadiran
ikon dalam sebuah tim sangatlah penting. Apa artinya tim sebesar Chicago
Bulls tanpa seorang Michael Jordan? Dalam hal ini UGM punya beberapa nama.
Kiprah Audi yang punya tembakan menawan atau Kusdiyanto dengan speedy
dribblenya layak dijadikan ikon industri basket UGM.
Faktor berikutnya adalah fanatisme penonton. Kehadiran sekitar 1000 mahasiswa
UGM yang dengan setia terus mengikuti jalannya pertandingan menunjukkan
bahwa dengan nama besar UGM serta kedekatan emosional, basket UGM telah
memiliki massa yang besar.
Nah, dari dua faktor tadi saja akan sangat banyak peluang bisnis yang
bisa digarap. Melihat besarnya jumlah fans basket UGM saja, peluang menggarap
bisnis merchandise sangat prospektif. Saya membayangkan apabila dari 1000
fans basket UGM masing-masing mengenakan kaos bertuliskan "Go UGM"
yang dibeli di KOPMA seharga 20 ribu, maka UGM telah mendapatkan pemasukan
sebesar 20 juta. Itu baru kaos. Belum lagi pin, gantungan kunci, bendera,
sampai poster diborong para fans basket UGM. Jangan kaget, kalau industri
basket digarap serius, bisa jadi mahasiswi-mahasiswi UGM akan berlomba
membeli kaos bergambar si Audi lagi ngeshoot.
Juga kostum tim yang kini masih polos, bisa menjadi lahan yang menguntungkan.
Dengan modal jumlah fans basket UGM serta prestasi yang mengesankan, tentunya
tidak sulit menggaet perusahaan besar macam Hexos atau A Mild. Nongol
di kostum tim sehebat UGM dan ditonton ribuan pasang mata tentu saja menjadi
promosi yang menguntungkan.
Kini kita berharap banyak pada Pak Bambang, sang Warek III. Sebagai komandan
untuk urusan kemahasiswaan, Pak Bambang dan staf perlu membuat semacam
"blue print" tentang sistim pembinaan olahraga di UGM. Sistem
ini nantinya harus dibuat dalam konteks menjual kampus lewat olahraga.
Tentunya rencana ini juga harus disinergiskan dengan pengembangan kampus
secara keseluruhan.
UGM telah memiliki modal awal lumayan. Dengan program PBAD, industri olahraga
UGM akan senantiasa dipasok oleh input berkualitas. Tetapi, tentunya tidak
cukup dengan PBAD. Perlu disiapkan sistim pembinaan yang mampu mencetak
atlet berkualitas. Hanya lewat manajemen pembinaan yang profesionallah,
seorang bintang lapangan bisa lahir.
Sekarang telah jelas bahwa olahraga bukan sekedar ajang pembentukan nation
and character building ala Sukarno dulu. Tetapi, jauh dari itu olahraga
telah menjelma menjadi industri yang mampu menghasilkan profit besar.
Sudah saatnya UGM menggarap olahraga dalam rangka industrialisasi kampusnya.
Mari kita tunggu kiprah Pak Bambang dkk!
Ganesha
|