Salah Kaprah Program Pasca Sarjana

Berangkat dari keinginan untuk mencegah eksodusnya para sarjana untuk melanjutkan studi ke luar negeri, program pascasarjana didirikan. Sayang, dalam pelaksanaannya masih sering terjadi salah kaprah.

Dalam konsep pendidikan tinggi Indonesia, dikenal dua model pendidikan pascasarjana yang dapat ditempuh oleh para sarjana. Pertama, program akademik. Pada model ini penekananannya ditujukan pada pengembangan academic knowledge. Keluaran model ini diharapkan akan mampu menjadi konseptor dan peneliti tangguh dalam pengembangan keilmuannya. Pilihan kedua adalah model program profesi. Pada program profesi, pola pendidikannya lebih ditekankan pada skill improvement. Keluaran model ini nantinya akan banyak bekerja pada tingkatan praktis dan menjadi problem solver dalam dunia kerja.

Nasib Basic Science
Untuk UGM sendiri dikenal beberapa jenis program pascasarja. Yakni, program pasca sarjana reguler, program pascasarjana non reguler, dan program pascasarjana multi-disipliner. Program pascasarjana reguler meliputi program studi-program studi yang berbasis akademis seperti magister pertanian atau magister sains. Sedangkan program pascasarjana non reguler berbasis profesi seperti pada kedokteran umum, notariat hukum atau psikologi. Program pascasarjana multi-disipliner sesuai dengan namanya, merupakan persinggungan dari berbagai basis bidang ilmu. Contohnya program studi lingkungan, kependudukan, atau perbandingan agama.
Kepala Pusat Studi Pengembangan Managemen Pendidikan Tinggi (PSPMPT), Prof Dr. Sahid Susanto, MS, menyatakan jenis program yang ditetapkan oleh UGM ini kemudian akan berhubungan dengan pola-pola pengelolaan pascasarjana. Pada program reguler misalnya, sebagian besar program studinya harus dikelola secara terus menerus. Sebab umumnya pada jalur ini, program studinya adalah basic science, seperti MIPA atau filsafat. Jika tidak dilindungi dan hanya menyesuaikan pada demand pasar saja, maka dapat berbahaya. "Eksistensi suatu ilmu dan pengembangan ilmu pasti terhambat," ujarnya. Sementara pada program non reguler dan multi-disipliner, filosofinya adalah on-off. Artinya program bisa dibuka-tutup sesuai kebutuhan tenaga kerja pada pasar.
Dalam era otonomi, kondisi demikian kemudian mengundang beberapa wacana tentang mekanisme pengelolaan program pascasarjana yang ideal. Menurut Sahid, sekarang beredar wacana desentralisasi pengelolaan. Artinya, setiap fakultas dapat mengelola program pascasarjana tanpa harus dikoordinasi Pusat Pascasarjana. Keuntungannya, fakultas mendapat dana lebih banyak. Namun, kekurangannya adalah program studi kecil akan mati. Padahal program studi yang tidak mendatangkan laba biasanya adalah yang basic science. "Ini dilema, tapi biar bagaimana, universitas harus berkepentingan untuk melindunginya," ujarnya membela.

MM Tidak Jelas Jenisnya
Persoalan program pascasarjana bertambah pelik. Pasalnya, ada beberapa program studi yang tidak jelas jenisnya. Sahid Susanto menegaskan bahwa ada beberapa program studi rancu ditinjau dari jenis programnya. "Beberapa jurusan seperti MM atau MEP sulit dikategorikan sebagai program akademik maupun program profesi," ujarnya. Sebab menurutnya lagi, sebuah program akademik harus memiliki elemen riset yang kuat. Sebaliknya, program profesi menghendaki banyak pengajarnya selain ilmuwan juga harus merupakan praktisi. "Boleh dikata program MM itu berada di tengah-tengah, antara akademik dan profesi," tambahnya
Sahid menyatakan bahwa di luar negeri sendiri, program seperti MM bisa dibilang tidak ada. Program MBA (Master of Bussines Administration) yang sering dianggap duplikat MM menurutnya dalam banyak hal berbeda. "Salah kaprah kalau menganggap MBA sama persis dengan program MM," ujar pria berkacamata ini.
Kemunculan program sejenis MM ini menurut Sahid lagi adalah akibat adanya pressure yang luar biasa dari masyarakat. Terutama berkaitan dengan policy negara untuk melakukan industrialisasi, "dalam masyarakat yang terindustrialisasi, dimana negara kencang mengembangkan industri, keluaran program seperti MM-lah yang diburu." Selain itu, kebijakan negara dalam mengembangkan industri banyak didasari hanya oleh relokasi pabrik. Bukan industri yang berbasis pada riset dan pengembangan. "Akibatnya, program seperti MM boom, sementara yang basic science sulit dikembangkan karena tidak dibutuhkan," serunya sengit.
Sahid menawarkan, bila pengembangan program pascasarjana ingin ideal, maka UGM jangan malu meniru Thailand atau Malaysia. Di sana, keberadaan program pasca sarjana sangatlah elitis. Hanya sarjana yang memenuhi standar sangat tinggi yang bisa diterima. Walau jumlah mahasiswanya sangat sedikit, tapi mereka intens dalam melakukan riset dan pengembangan. Sehingga mereka mampu menjadi think tank yang efektif. "Untuk program-program yang sifatnya pada pengembangan skill, cukup dilakukan lewat course-course" ujarnya santai.

Ganesha

 

Powered by SKM UGM BULAKSUMUR, Bulaksumur B21 Jogjakarta 55281 fax (0274) 566711
email: bulaksumur@plasa.com
2 0 0 1