MENENGOK
KEBERADAAN PROGRAM PASCASARJANA UGM
Selain
fakultas dan pusat-pusat studi, UGM juga memiliki organ lain. Organ
itu adalah Program Pascasarjana. Konon, keberadaanya tak kalah penting,
yakni sebagai salah satu sumber pendapatan bagi universitas.
Dengan SPP sebesar tiga juta rupiah per semester untuk program reguler,
Program Pascasarjana tentu telah memberikan arti tersendiri bagi
UGM. Hingga saat ini telah dibuka enam puluh program studi. Digolongkan
ke dalam enam kelompok bidang ilmu dan satu kelompok program studi
antar bidang. Yakni kelompok bidang ilmu Humaniora, ilmu Kesehatan,
ilmu Matematika dan Pengetahuan Alam, ilmu Pertanian, ilmu Sosial
dan ilmu Teknik.
Dengan masa belajar dua tahun, mahasiswa diharuskan menyelesaikan
36 - 56 SKS. "Tapi biasanya di UGM rata-rata 42 SKS,"
ujar Prof. Dr. Mulyadi, Apt, Direktur Program Pascasarjana.
Sementara untuk pelaksanaan pendidikannya diselenggarakan di fakultas.
Dekan fakultas terkait bertindak sebagai pananggung jawab pelaksanaan
program studi pascasarjana yang ada dalam cakupannya.
Program
non reguler
Beberapa program studi tertentu - seperti Magister Manajemen (MM),
Magister Administrasi Publik (MAP) - diselenggarakan dalam waktu
kurang dari dua tahun. Meski begitu, menurut Prof. Mulyadi bobot
SKS yang harus diselesaikan dalam program non reguler ini tetap
sama seperti yang lain. "Hanya saja masa belajarnya yang lebih
dipadatkan," lanjutnya.
Sebagai program khusus yang lebih menitikberatkan pada pengembangan
kemampuan profesional, program tersebut juga memiliki biaya khusus.
Biaya pendidikan yang menjadi kewajiban mahasiswa berkisar dari
dua puluh hingga tiga puluh juta per paket.
Di Indonesia hingga saat ini ketentuan yang mengatur penyelenggaraan
studi pascasarjana masih tetap mengacu kepada aspek akademik (sains).
"Untuk itu, baik yang reguler maupun yang non tetap diberlakukan
penyusunan thesis sebagai salah satu syarat kelulusan," jelas
Prof. Mulyadi. Lulusan farmasi UGM ini juga mengakui bahwa memang
ada perbedaan bobot dalam thesisnya. Pada program reguler bobot
thesis berkisar antara delapan sampai dua belas SKS. Sementara di
non reguler biasanya hanya empat SKS.
Program
kerjasama
Ketika ditanya apakah lulusannya memiliki perbedaan kualitas, dengan
segera ia menjawab, "Ada, pasti!" Makanya program doktoral
UGM memberlakukan ketentuan khusus bagi lulusan non reguler yang
akan melanjutkan studi di UGM. "Mereka harus punya nilai tambah
seperti dimuatnya artikel mereka dalam jurnal, atau harus mengikuti
semacam matrikulasi." Ini semua tak bisa dilepaskan karena
sifat program non reguler lebih mengedepankan aspek profesional.
Program Pascasarjana juga menyediakan beberapa program studi yang
melakukan kerjasama dengan pemerintah daerah (pemda) dan instansi
tertentu. Kerjasama itu dalam bentuk pengiriman karyawan untuk tugas
belajar. Kelasnya dibuat tersendiri dan otomatis biaya pendidikannya
pun khusus. Besarnya sendiri tergantung dari kontrak.
Guna menjaga kualitas, Program Pascasarjana tetap melakukan seleksi
sesuai standar. Namun sering terjadi juga yang dikirimkan masih
di bawah standar. "Awal-awal sih masih bagus-bagus. Tapi, kelompok
berikutnya, yang kelima atau keemam, terkadang menurun kualitasnya,"
tandas Prof. Mulyadi. Untuk mengantisipasi hal ini, Program Pascasarjana
melakukan matrikulasi.
Lalu
lintas keuangan
Sebagai institusi yang menjadi bagian dari UGM, Program Pascasarjana
bertindak selaku koordinator secara keseluruhan, baik administrasi
pendidikan maupun keuangan. Sementara, pada tataran operasional
dikembalikan ke fakultas atau jurusan yang membuka program studi
pascasarjana.
Alokasi dana dari SPP mahasiswa reguler sebesar tiga juta tadi diserahkan
sebesar dua juta kepada Program Pascasarjana untuk pembiayaan umum.
Termasuk di dalamnya honorarium staf pengajar dan staf Program Pascasarjana.
Sementara sisanya sebesar satu juta dikembalikan lagi ke fakultas
terkait guna pembiayaan keperluan operasional di tingkat fakultas
atau jurusan.
Untuk program non reguler yang membutuhkan biaya pendidikan sebesar
dua puluh hingga tiga puluh juta per paket, alokasi dananyapun berbeda.
Sejumlah empat juta rupiah diperuntukkan bagi UGM dan Program Pascasarjana,
dan kembali ke fakultas atau jurusan yang membuka program studi.
Dengan prosentasi untuk UGM dan Program Pascasarjana masing-masing
25%, dan 50% sisanya bagi fakultas/jurusan. Sementara, di luar empat
juta tersebut menjadi wewenang pengelola program studi terkait.
Lulusan
di mata luar negeri
Prosedur pembukaan suatu program studi pascasarjana di UGM biasanya
berawal dari usulan jurusan atau fakultas. Usulan ini kemudian diajukan
kepada Program Pascasarjana atau Rektor. Oleh Program Pascasarjana,
melalui Badan Pengembangan, usulan ini ditindaklanjuti untuk dikaji.
Lalu dibawa ke komisi I dan Senat Akademik Apabila layak untuk dibuka,
maka akan segera ditetapkan melalui SK Rektor. "Namun, pada
masa otonomi nanti prosedur ini bisa saja berubah sepenuhnya,"
tandas Prof. Mulyadi.
Doktor lulusan Biokimia UGM ini mengatakan juga bahwa saat ini lulusan
pascasarjana UGM sudah mendapat pengakuan di beberapa universitas-universitas
luar negeri. "Biasanya, universitas luar negeri akan menilai
dari mahasiswa yang datang pertama," kenangnya, "kalau
dia punya reputasi baik, maka untuk selanjutnya akan mudah bagi
perguruan tinggi asal mahasiswa tersebut guna mengirimkan anak didik
berikutnya."
Zaki
|