Lika-liku
Mahasiswa Pascasarjana Titipan
Sejak
berdirinya program pascasarjana, UGM marak dihadiri mahasiswa yang
dikirim instansinya untuk tugas belajar. Mereka sering disebut mahasiswa
titipan. Bagaimana lika-liku kehidupan mereka?
Gelar magister memang menawarkan kualitas tersendiri. Namun karena
mahalnya biaya, tidak semua orang bisa mengenyamnya. Hanya beberapa
orang yang beruntung bisa mengikuti program magister di UGM tanpa
harus bayar. Umumnya, mereka berasal dari Instansi tertentu. Hidup
mereka ditopang sepenuhnya pada bea siswa yang didapatkan.
Keberuntungan
Kondisi itulah yang dialami oleh Siti Chomzah, seorang karyawati
di jajaran Pemda Jateng. Ia merasa beruntung bisa kuliah di program
MAP (Magister Administrasi Publik). Setelah lolos mengikuti program
beasiswa dari Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional),
ia berhak kuliah di MAP tanpa harus keluar biaya. "Saya tidak
akan pernah bisa kuliah disini kalau tidak ada beasiswa," ujar
mahasiswi asal Semarang ini.
Hal tersebut diakui Chomzah karena biaya kuliah pascasarjana sangat
mahal. Biaya kuliahnya bisa mencapai tujuh juta rupiah per semester.
Sangat mahal untuk sekelas pegawai rendahan sepertinya. "Tanpa
program bea siswa ini rasanya sulit bisa kuliah S2 seperti sekarang,"
aku pegawai kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat ini.
Hal senada dikatakan oleh Renida Joselina yang berasal dari Universitas
Cendrawasih, Papua. Sebagai mahasiswi yang berasal dari ujung timur
Indonesia, ia merasa sangat beruntung bisa mendapat beasiswa. "bersyukur
bisa kuliah tanpa keluar biaya," kata dosen Program Studi Ilmu
Politik Universitas Cendrawasih ini.
Joselina juga merasa beruntung bisa kuliah di salah satu universitas
terbesar di Indonesia. Ia mengaku menikmati bisa kuliah diajar oleh
dosen-dosen beken. "Kalau selama ini saya hanya bisa membaca
karyanya Riswanda Imawan, Affan Gaffar, atau Ichlasul Amal, sekarang
bisa secara langsung bertatap muka," lanjut Ibu seorang anak
ini.
Baik Joselina maupun Chomzah datang ke UGM membawa misi tersendiri.
Chomzah misalnya, ia menekankan bahwa urusan kantor yang kini benar-benar
dia tinggalkan harus segera diselesaikan selepas menuntut ilmu di
UGM. "Sudah konsekuensi saya harus tepat waktu menyelesaikan
kuliah ini," seru chomzah lebih lanjut.
Lain Chomzah, lain pula Joselina. Ia mengaku setelah pulang nanti
akan berusaha untuk mewujudkan program studi ilmu politik menjadi
Fakultas Ilmu politik. "Semoga setelah saya pulang, impian
berdirinya Fakultas Ilmu Politik segera dapat terealisir,"
kata joselina yang kini duduk di semester pertama. Selain itu, ia
juga berharap ilmunya dapat lebih mamajukan Uncen. "Maklum,
saat ini di Uncen baru ada dua orang Profesor dan lima orang Doktor,"
tambahnya bersemangat.
Kangen
keluarga
Dititipkannya mereka di UGM untuk meraih gelar pascasarja, menjadikan
mereka seringkali harus menerima konsekuensi hidup jauh dari keluarga.
Bagi para mahasiswa yang rumahnya tidak jauh dari Yogya, mungkin
hal ini tidak menyulitkan. Karena selalu ada waktu untuk pulang
bertemu keluarga.
Namun keadaan itu langka dialami olah Joselina. Baginya perasaan
kangen terhadap keluarga kerap kali muncul. "Bahkan kadang-kadang
agak mengganggu" ujarnya. Dalam kondisi demikian, ia terbiasa
melepaskan rindu lewat pesawat telepon. Saluran teleponlah yang
kemudian mampu menghubungkannya dengan buah hati tercinta yang masih
berusia tiga tahun. "Ya, satu-satunya jalan adalah melalui
pesawat telpon untuk bisa tahu keadaan anakku, "ujarnya haru.
Selain masalah kangen dengan keluarga, Joselina juga awalnya mempunyai
masalah komunikasi dengan orang-orang disekitarnya. Kala itu, ia
merasa kaget mengikuti pembicaraan orang Jogja yang sangat pelan
dan lambat, "jadi dulu saya sering susah kalau ngomong dengan
mereka."
Apapun kegundahan yang mereka rasakan, selalu terbersit perasaan
bahagia. Bagi mereka hidup di Jogja dan kuliah di UGM sangatlah
nikmat. Chomzul yang masih lajang mengaku merasakan suasana kuliah
yang nyaman. "kuliah di sini bisa layaknya nostalgia kuliah
dahulu," ujar alumni Universitas Dipenogoro ini. Sementara,
Joselina menegaskan bahwa hidup di Jogja sangatlah enak. Selain
penduduknya ramah, harga-harga barang juga sangat murah. "Jadi
gaji dan uang beasiswa serba cukup untuk hidup."
Guntur
|