Edisi 41 > 21/11/2001


Pengembangan Kampus Tidak Ramah Lingkungan

Akhir-akhir ini, UGM banyak sekali melakukan pembangunan. Bahkan terkesan membabi-buta sehingga menghabiskan ruang hijau.

Kini bisa kita lihat UGM giat sekali melakukan pembangunan dan pengembangan kampus. Diantaranya yang hingga kini masih berlangsung adalah Agro Complex di timur gedung pusat, medicine complex untuk fakultas KU dan KG, juga gedung D3 Ekonomi di selatan masjid kampus. Kebanyakan proyek itu dibangun dari duit hasil pinjaman maupun hibah funding asing.
Celakanya, beberapa proyek pembangunan dan pengembangan kampus yang tidak ramah lingkungan mengesankan buruknya perencanaan pengembangan kampus secara keseluruhan. Hal ini tentu saja menghadirkan efek buruk pada lingkungan hidup seperti berkurangnya ruang hijau dan lahan resapan air.

Managemen Lingkungan Buruk
Drs. Darmakusuma, MS, staf peneliti Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) UGM menyatakan bahwa dalam mengembangkan kampus, UGM harusnya memiliki master plan yang mengacu pada beberapa aturan lingkungan. Diantaranya adalah Kepmen Lingkungan Hidup No. 17/2001 serta aturan dari Pekerjaan Umum yang mengatur tentang tata cara pembangunan.
Dinas Pekerjaan Umum misalnya, mengatur tentang komposisi lahan yang digunakan, mengharuskan 40% lahan yang digunakan ditujukan sebagai ruang hijau. Dalam hal ini saja ketidakterarahan pengembangan kampus telah tampak, "masih perlu dipertanyakan apakah UGM menaati aturan ini," seru dosen hidrologi fakultas geografi ini.
Idealnya agar tidak banyak mengurangi lahan resapan air, pembangunan gedung diusahakan mengarah ke atas. Juga untuk mendapatkan cadangan air yang maksimal, seharusnya UGM menyiapkan teknik alternatif melalui sistem atap diagonal atau sistem penyuntikan air lewat pipa. Namun lingkungan tidak melulu soal fisik, tapi juga harus memperhitungkan dampak lingkungan sosial, termasuk faktor estetika dan keserasian gedung.
Darmakusuma juga mengkritik managemen lingkungan hidup di UGM. Padahal sebenarnya secara infrastruktur, kondisi UGM telah cukup ramah lingkungan. "Soal penanganan limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya-red) misalnya, instalasinya sebenarnya ada, tapi tidak pernah dijalankan," serunya sengit. Ia mencontohkan Insinirator limbah di RS. Sarjito yang lama tak terpakai karena masalah dana. ôMemang penanganan limbah ini high cost, tapi kalau tidak dilakukan, toh nanti efeknya jauh lebih high cost, ini yang harus diperhitungkan," tambahnya antusias.
Meski cukup kritis menyingkapi fenomena pengembangan kampus ini, dirinya bisa memaklumi bila UGM sering tidak memperhatikan faktor ramah lingkungan. Sebab menurutnya, isu ramah lingkungan ini adalah isu yang sangat baru. Sebelumnya karena lahan masih luas dan belum banyak bangunan, pengembangan leluasa dilakukan tanpa harus memperhatikan faktor lingkungan, "asal faktor teknis dan ekonomis terpenuhi, bisa langsung bangun." Faktor ramah lingkungan kini telah menjadi tuntutan publik. "Jadi bisa saja suatu saat, UGM tidak lagi diminati mahasiswa, karena kampusnya nggak ramah lingkungan," ujarnya dengan mimik muka serius.

Tidak Ada Master Plan
Sekretaris tim Perencanaan dan Pengembangan (Renbang) UGM, Ir. Ikaputra, M.Eng, Ph.D mengakui bahwa selama ini pengembangan kampus UGM terkesan tidak terarah. "Boleh dibilang pengembangan UGM selama ini masih awang-awangan," ujarnya. Hal ini terjadi sebab UGM telah menjadi layaknya sebuah kota kecil di dalam kota Jogja. Sehingga dalam pengembangannya perlu memperhatikan dinamika kota Jogja. Sulitnya sering terjadi ketidaksesuaian antara dinamika kota dengan dengan desakan perkembangan kampus.
Mengenai master plan yang bisa membuat pengembangan kampus lebih terarah, Ikaputra menyatakan bahwa master plan yang pernah dibuat UGM tahun 1987 kini tidak dipakai lagi. Alasan utamanya master plan itu kini sulit untuk bisa direalisasikan. Yakni pelarangan pembangunan gedung yang berlantai lebih dari tiga karena dapat merusak keindahan. "Gedung menjulang tinggi bisa menenggelamkan Gedung Pusat yang merupakan simbol UGM," seru dosen yang sehari-hari juga arsitek ini. Padahal saat ini bangunan tinggi menjulang adalah alternatif terbaik untuk meminimalisir penggunaan lahan resapan air.
Sementara untuk membuat master plan baru yang lebih sesuai dengan tuntutan dinamika kampus, menurutnya sulit dilakukan, "bukan apa-apa biayanya sangatlah tinggi." Adanya master plan tahun 1987 adalah kebetulan. "Saat itu secara kebetulan ada pihak luar yang ngasih dana sehingga memungkinkan dibuatnya master plan." tambahnya.
Meski pengembangan kampus dilakukan tanpa dasar master plan, Ikaputra membantah kalau ini berarti UGM tidak memperhatikan aspek ramah lingkungan. Menurutnya, selama ini sebelum membangun, selalu dilakukan studi kelayakan. "Semacam eksplorasi sejauh mana efek lingkungan ditimbulkan." Ia mencontohkan soal wilayah pengembangan misalnya, telah disepakati wilayah yang masih dapat dikembangkan di kemudian hari hanya pada daerah Kuningan dan Jl. Kolombo. "Di luar daerah itu, kalau diperlukan pengembangan bangunan, berarti gedung lama harus diruntuhkan, lalu dibangun gedung baru dengan jumlah lantai lebih banyak" katanya lagi.
Di samping itu, ia menekankan bahwa meski ada desentralisasi pengembangan pada fakultas, tetapi secara umum pihak rektorat juga melakukan pengawasan agar proses pengembangan bisa tetap ramah lingkungan. Ia juga meyakinkan bahwa selalu ada mekanisme Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) sebagai salah satu prasyarat pembangunan. "Untuk AMDAL, pelaksanaannya kita serahkan sepenuhnya pada kontraktor," tambahya lagi.

Ganesha
Laporan: Didik




Powered by SKM UGM BULAKSUMUR, Bulaksumur B21 Jogjakarta 55281 fax (0274) 566711
email: bulaksumur@plasa.com
2 0 0 1