Pardian,
Sang Inventaris
Fakultas Kehutanan
Duduk-duduk
santai di bawah rimbunnya pepohonan, sambil sesekali menikmati kicau
burung barangkali hanya impian bagi kebanyakan orang kota. Lebih
merupakan impian lagi manakala kegiatan itu dilakukan di tengah
kota. Karena memang sudah tidak banyak lahan tersisa untuk itu.
Namun ternyata, meski terbatas, UGM memiliki beberapa hutan mini
di dalam lingkungan kampusnya. Salah satu yang masih bertahan hingga
saat ini adalah Hutan Mini Pardian.
Hutan yang terletak di sisi barat Fakultas Kehutanan (utara Gedung
Pusat) itu diberi nama demikian karena tidak bisa dilepaskan dari
jasa seorang Pardian. Tidak banyak yang mengenal sosoknya, memang.
Hanya beberapa profesor dan guru besar Fakultas Kehutanan yang masih
menyimpan memori akan dedikasinya.
Prof. Dr. Ir. Achmad Sulthoni, M.Sc., staf pengajar jurusan Budi
Daya Hutan yang juga adik kelas Pardian, menyebutnya sebagai benar-benar
rimbawan. Pardian yang masuk UGM tahun 1953 dan baru menyelesaikan
studi sarjananya di akhir tahun 1970-an, itupun atas desakan teman-temannya,
memang memiliki perhatian mendalam terhadap permasalahan hutan di
Indonesia. Tak heran jika kemudian sempat muncul istilah "inventaris
fakultas" yang melekat di tubuhnya sebagai akibat begitu lamanya
bertahan di kampus.
Untuk
tuna netra
Bukan malas yang jadi penyebab, tapi perhatiannya terhadap masalah
hutan memang banyak menyita waktu beliau. Area yang saat ini telah
menjadi hutan mini tersebut sejak tahun 1950-an sudah dijadikan
sebagai tempat praktikum mahasiswa Kehutanan. Tentu saja kondisinya
belum seperti sekarang. Melihat itu semua, Pardian tergerak untuk
mengembangkan areal tersebut secara lebih terawat. Tinggal dan beraktifitas
sehari-hari di dalam hutan itu menjadi pilihan hidupnya.
Awalnya, hutan mini itu diperuntukkan juga sebagai sarana sosialisasi
hutan kepada para tuna netra. Di setiap pohon diberi papan nama
dan ditulis dengan huruf braille, sehingga tuna netrapun dapat mengenal
bagaimana "rupa" isi hutan sebenarnya.
Pardian yang kemudian menjadi staf pengajar sylvikultur pada jurusan
Budi Daya Hutan ini juga banyak terlibat dalam pengembangan hutan
Wanagama. Perjuangannya yang gigih dan mampu membina hubungan baik
dengan warga sekitar telah memberi andil cukup besar terhadap pengembangan
lahan kering yang kemudian menjadi areal hutan tersebut. Prof. Sulthoni
menceritakan bagaimana sikap Pardian yang terbuka dengan warga sekitar.
Warga yang umumnya memiliki ternak itu diperbolehkan masuk area
hutan dan mengambil rumput yang ada, dengan menyerahkan pupuk kandang
sebagai gantinya.
Diserbu
baju hijau
Menurut doktor lulusan dalam negeri pertama bidang Kehutanan ini,
Pardian tidak sekedar membangun hutan tapi juga melakukan pembibitan.
Pada peringatan Dies UGM tahun 1977 di mana salah satu acaranya
adalah penghijauan kampus, bibit yang dipakai berasal dari kerja
keras Pardian dan dosen Kehutanan lainnya. "Sempat ada anekdot
muncul waktu program penghijauan kampus yang juga tengah marak dengan
aksi demo mahasiswa itu. Ternyata kampus benar-benar diserbu 'baju
hijau' (militer-red)," kenangnya.
Begitu besar curahan perhatiannya terhadap pengembangan hutan, sampai-sampai
hingga akhir hayatnya di penghujung tahun 80-an, Pardian tetap membujang.
"Malah ngrumati anake wong (malah memelihara anak orang-red),"
tutur Prof. Sulthoni, "dia memang mudah membina hubungan baik
dengan orang lain."
Pardian memang bukan seorang profesor atau guru besar. Namun, beliau
sudah membuktikan bahwa jiwa pionir yang mengedepankan inisiatif
dan kreatifitas disertai usaha keras adalah sumbangan berarti yang
bisa diberikannya. Atas dasar dedikasinya tersebut, kemudian di
masa Prof. Koesnadi Hardjosoemantri menjabat sebagai rektor UGM,
hutan mini di Fakultas Kehutanan diberi nama Hutan Mini Pardian.
Namun, mampukah hutan mini ini tetap eksis dan dipertahankan di
tengah pembangunan fisik yang makin marak di UGM ?
Zaki
|