Edisi
41 > 21/11/2001
OTONOMI
WATCH
Paradigma
Pendidikan
Setiap
hari kita duduk di ruang kuliah mendengarkan dosen berbicara berharap
mendapat ilmu baru. Dosen masih dianggap sebagai mahaguru yang tahu
segalanya dan secara tidak sadar kemudian mahasiswa memposisikan
diri sebagai objek yang tidak tahu apa-apa. Sebelum melangkah lebih
jauh, ada baiknya dilakukan pemikiran ulang paradigma pendidikan
yang kita anut sekarang ini.
Secara garis besar ada tiga paradigma yang mempengaruhi proses pendidikan
di Indonesia. Paradigma pertama dikenal dengan paradigma konservatif.
Paradigma ini menganut paham bahwa segala sesuatu telah diatur yang
maha kuasa. Dengan kata lain, perubahan sosial bukanlah sesuatu
yang harus diperjuangkan. Karena itu kaum konsevatif menganggap
rakyat tidak mempunyai kekuatan untuk melakukan perubahan terhadap
kondisi mereka.
Paradigma berikutnya adalah paradigma liberal. Paradigma yang sedang
gencar tumbuh di UGM ini berkembang seiring dengan arus modal dan
kelompok yang diuntungkan dengan kapitalisme. Bagi mereka pendidikan
tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan sosial politik. Tugas
pendidikan menurut paradigma ini hanyalah untuk menyiapkan orang
untuk masuk ke dalam sistem yang sudah ada.
Pengaruh liberal ini terlihat dalam pendidikan yang mengutamakan
prestasi melalui proses persaingan antar peserta didik. Dalam konteks
UGM, prestasi dilihat dari tingginya IPK atau cepatnya penyelesaian
masa studi. Intinya, pendidikan mepersiapkan peserta didik untuk
dapat bersaing di dalam masyarakat yang terindustrialisasi.
Proses liberalisasi juga terjadi pada model pengelolaan institusi
pendidikan. Paradigma ini mengembangkan institusi pendidikan dengan
logika industri. Pola-pola industri yang efisien, transparan, serta
dengan tingkat akuntabilitas publik tinggi diterapkan dalam managemen
pendidikan. Singkatnya, institusi pendidikan berkembang bak firma
bisnis dengan logika laba-rugi.
Paradigma terakhir adalah paradigma pendidikan kritis. Dalam paradigma
ini tugas pendidikan adalah melakukan refleksi kritis terhadap ideologi
yang dominan ke arah tranformasi sosial. Dalam perspektif ini pula
pendidikan pendidikan harus mampu memanusiakan kembali manusia yang
mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil.
Pendidikan selama ini dianggap telah gagal memerankan visi utama
memanusiakan manusia untuk menjadi subjek transformasi sosial. Suatu
proses penciptaan hubungan yang baru secara mendasar dan lebih baik.
Dalam konteks transformasi sosial inilah peran kritis pendidikan
perlu dikembangkan. Dilemanya, pendidikan kritis memerlukan sistem
sosial yang demokratis dan adil. Sebaliknya, sistem sosial yang
demokratis dan adil memerlukan pendidikan kritis. Dengan kata lain,
keduanya saling berkait bak lingkaran setan.
Guntur
|