13/07/00
Semester Pendek :
Dilema Komersialisasi dan Reduksi Kualitas Masa libur setelah ujian semester genap tidak membuat kampus biru
UGM menjadi sepi. Mahasiswa tetap terlihat aktif di ruang kuliah maupun perpustakaan;dan
pemandangan ini dapat disaksikan hampir di setiap fakultas. Aktivitas semester pendek yang
digelar beberapa fakultas disambut antusias oleh banyak mahasiswa. Ini terbukti dari
jumlah peserta yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Suka Sama Suka
Tidak jelas kapan persisnya mulai diadakan semester pendek di UGM,karena sejak lama
program ini berjalan secara bottom up dan bersifat mandiri di masing-masing
fakultas. Tiga tahun yang lalu pihak universitas mencoba mengadakan standarisasi
pelaksanaan semester pendek, namun tidak berhasil karena setiap fakultas memang memiliki
kondisi berbeda. Akhirnya disepakati, fakultaslah yang mengatur sendiri segala hal yang
berkaitan dengan semester pendek. Praktis,semua biaya pengajaran ditanggung fakultas.
Secara umum semester pendek bertujuan untuk mempercepat masa studi dan menaikkan indeks
prestasi mahasiswa."Karena itu semester pendek sangat dibutuhkan,meski pelaksanaannya
tidak wajib," ujar Dr.Ir.Toni Atyanto Dharoko,MPhil, asisten PR I UGM. Toni juga
menyebutkan program ini dasarnya adalah suka sama suka, antara komitmen
mahasiswa,dosen dan fakultas yang bersangkutan.
Kontroversial
Meski begitu, sampai sekarang masih banyak kontroversi yang muncul tentang penyelenggaraan
semester pendek. Akhirnya tidak semua fakultas menyelenggarakan semester pendek., misalnya
Fakultas Psikologi dan Fakultas ISIPOL. Isu yang dilontarkan pun beragam. Ada yang
menyebutkan semester pendek akan menurunkan mutu akademik, ada yang mengaitkannya dengan
komersialisasi pendidikan.
Tapi isu-isu tersebut dibantah keras oleh Toni. "Bagaimana mungkin disebut
komersial?! Lha wong dasarnya suka sama suka, kok,..." tukasnya. Ia
juga menambahkan , semester pendek tidak akan menurunkan kualitas pendidikan karena secara
tidak langsung universitas membuat patokan bahwa semester pendek harus diselenggarakan
sama halnya dengan semester reguler. Artinya cara, jumlah jam, materi dan sistem evaluasi
harus sama. "Maka jumlah SKS dibatasi rata-rata maksimal 10, agar mahasiswa tidak keteteran,"
lanjut Toni.
Dekan FISIPOL, Sunyoto Usman, berpendapat sama. Menurutnya penyebab tidak digelarnya
semester pendek di FISIPOL bukan karena alasan komersial dan penurunan mutu. Melainkan
karena perbandingan antara staf pengajar dan mahasiswa sangat tidak seimbang, yaitu 1
berbanding 36. Dengan perbandingan ini dikhawatirkan dosen-dosen tidak dapat memberikan performance
yang baik saat mengajar disemester pendek. "Tapi FISIPOL sedang merencanakan
menggelar semestar pendek, meski masih dalam taraf penjajakan,"tutur guru besar Ilmu
Sosiologi ini. Selama ini jika ada mahasiswa FISIPOL ataupun Psikologi yang ingin
mengambil semester pendek, biasanya mereka mengambil di Fakultas Sastra ataupun Filsafat.
Dan tidak dapat dipungkiri, banyak sekali mahasiswa dari dua fakultas ini yang berminat
mengambil kuliah di Semester Pendek.
Memang ada beberapa dosen yang memiliki argumen berbeda, seperti I Gusti Ngurah Putra dari
jurusan Ilmu Komunikasi dan M.Supraja dari juruan Sosiologi, yang lebih menyoroti sisi
komersialnya."Hanya yang punya uang saja yang bisa memanfaatkan semester pendek
sehingga pendidikan terkesan komersial dan elitis. Ini sudah menyalahi
komitmen,"tegas Supraja.
Mahasiswa Tidak Keberatan
Pada umumnya mahasiswa yang ditemui Bulaksumur Pos tidak melihat indikasi
komersialisasi pendidikan pada semester pendek. Biaya semester pendek dianggap tidak
terlalu memberatkan ."Biayanya cukup relevan dengan keuntungan yang didapat
mahasiswa ,yaitu bisa mempercepat masa studi," ujar Melika, mahasiswa jurusan
Administrasi Negara, FISIPOL. Hal ini disetujui Ervi -mahasiswi Matematika MIPA- dan Indri
dari Fakultas Kehutanan . "Tapi kalau bisa sih,semurah-murahnya,agar semua
mahasiswa bisa ikut," seloroh Yudi, mahasiswa Filsafat.
Tentang materinya ,mereka bahkan menginginkan tidak hanya Mata Kuliah Umum (MKU) yang
diberikan, tapi juga Mata Kuliah Keahlian (MKK ) dan Mata Kuliah Pilihan (MKP). Dengan
catatan, mata kuliah tersebut hanya bisa diambil oleh mahasiswa yang mengulang , bukan
untuk mahasiswa yang belum pernah mengambilnya."Kalau hanya dalam waktu satu setengah
bulan kita mengambil MKK atau MKP baru, rasanya terlalu berat. Karena perlu lebih banyak
membaca dan belajar agar lebih paham," ujar Melika.
Hal senada diungkapkan Ervi, yang khawatir semester pendek hanya akan menjadi ajang untuk
sebatas mencari nilai sehingga tidak begitu 'menghayati' mata kuliah yang dipelajarinya.
Supraja juga merasa keberatan kalau mata kuliah baru diintroduksi lewat semester pendek.
Alasannya, dalam program yang serba 'terbatas dan tergesa' ini, proses belajar relatif
akan lebih cepat sehingga cenderung sulit untuk mengharapkan ada internalisasi dari
mahasiswa.
Perlu Revisi
Terlepas dari kontroversi tadi, pelaksanaan semester pendek memang perlu dikritisi. Mulai
dari sarana, prasarana, biaya, sistem evaluasi sampai dengan infrastruktur. Butuh penataan
yang sistematis dan persiapan yang lebih matang. Selama ini pelaksanaan semester pendek
memang dikenal lebih longgar dari semester reguler. Mulai dari isu nilai lebih mudah, juga
absen yang lebih longgar.Untuk itu harus mulai diperbaiki sistemnya agar semester pendek
tidak terkesan mereduksi kualitas pendidikan. Misalnya , harus ada jaminan bahwa dosen
akan memberikan kuliah sedikitnya 80% dari seluruh jam kuliah. Selain itu, biaya yang
lebih dapat dijangkau oleh semua mahasiswa sehingga tidak terkesan komersial.
Juga harus diperhatikan pertimbangan substansi
akademik, yaitu bagaimana menjadikan waktu satu setengah bulan itu menjadi efektif bagi
mahasiswa sehingga mampu menginternalisasikan pengetahuan yang didapatnya. Waktu yang
panjang memang tidak menjamin mahasiswa berhasil menyerap substansi kuliah dengan sempurna
,tapi jangan sampai efisiensi menjadi satu-satunya pertimbangan mahasiswa ketika mengikuti
semester pendek. Apalagi jika sampai mereduksi kualitas pendidikan."Akan sangat
berbahaya bagi dunia pendidikan jika mahasiswa cenderung pragmatis dan serba instant,"
tukas Supraja.
(Marina bulaksumur) |