log.gif (13574 bytes)
  Indeks  | Daftar Berita | Sapa Kami Pengelola
13/07/00
Semester Pendek :
Dilema Komersialisasi dan Reduksi Kualitas

Masa libur setelah ujian semester genap tidak membuat kampus biru UGM menjadi sepi. Mahasiswa tetap terlihat aktif di ruang kuliah maupun perpustakaan;dan pemandangan ini dapat disaksikan hampir di setiap fakultas. Aktivitas semester pendek yang digelar beberapa fakultas disambut antusias oleh banyak mahasiswa. Ini terbukti dari jumlah peserta yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

Suka Sama Suka
Tidak jelas kapan persisnya mulai diadakan semester pendek di UGM,karena sejak lama program ini berjalan secara bottom up dan bersifat mandiri di masing-masing fakultas. Tiga tahun yang lalu pihak universitas mencoba mengadakan standarisasi pelaksanaan semester pendek, namun tidak berhasil karena setiap fakultas memang memiliki kondisi berbeda. Akhirnya disepakati, fakultaslah yang mengatur sendiri segala hal yang berkaitan dengan semester pendek. Praktis,semua biaya pengajaran ditanggung fakultas.
Secara umum semester pendek bertujuan untuk mempercepat masa studi dan menaikkan indeks prestasi mahasiswa."Karena itu semester pendek sangat dibutuhkan,meski pelaksanaannya tidak wajib," ujar Dr.Ir.Toni Atyanto Dharoko,MPhil, asisten PR I UGM. Toni juga menyebutkan program ini dasarnya adalah suka sama suka, antara komitmen mahasiswa,dosen dan fakultas yang bersangkutan.

Kontroversial
Meski begitu, sampai sekarang masih banyak kontroversi yang muncul tentang penyelenggaraan semester pendek. Akhirnya tidak semua fakultas menyelenggarakan semester pendek., misalnya Fakultas Psikologi dan Fakultas ISIPOL. Isu yang dilontarkan pun beragam. Ada yang menyebutkan semester pendek akan menurunkan mutu akademik, ada yang mengaitkannya dengan komersialisasi pendidikan.
Tapi isu-isu tersebut dibantah keras oleh Toni. "Bagaimana mungkin disebut komersial?! Lha wong dasarnya suka sama suka, kok,..." tukasnya. Ia juga menambahkan , semester pendek tidak akan menurunkan kualitas pendidikan karena secara tidak langsung universitas membuat patokan bahwa semester pendek harus diselenggarakan sama halnya dengan semester reguler. Artinya cara, jumlah jam, materi dan sistem evaluasi harus sama. "Maka jumlah SKS dibatasi rata-rata maksimal 10, agar mahasiswa tidak keteteran," lanjut Toni.
Dekan FISIPOL, Sunyoto Usman, berpendapat sama. Menurutnya penyebab tidak digelarnya semester pendek di FISIPOL bukan karena alasan komersial dan penurunan mutu. Melainkan karena perbandingan antara staf pengajar dan mahasiswa sangat tidak seimbang, yaitu 1 berbanding 36. Dengan perbandingan ini dikhawatirkan dosen-dosen tidak dapat memberikan performance yang baik saat mengajar disemester pendek. "Tapi FISIPOL sedang merencanakan menggelar semestar pendek, meski masih dalam taraf penjajakan,"tutur guru besar Ilmu Sosiologi ini. Selama ini jika ada mahasiswa FISIPOL ataupun Psikologi yang ingin mengambil semester pendek, biasanya mereka mengambil di Fakultas Sastra ataupun Filsafat. Dan tidak dapat dipungkiri, banyak sekali mahasiswa dari dua fakultas ini yang berminat mengambil kuliah di Semester Pendek.
Memang ada beberapa dosen yang memiliki argumen berbeda, seperti I Gusti Ngurah Putra dari jurusan Ilmu Komunikasi dan M.Supraja dari juruan Sosiologi, yang lebih menyoroti sisi komersialnya."Hanya yang punya uang saja yang bisa memanfaatkan semester pendek sehingga pendidikan terkesan komersial dan elitis. Ini sudah menyalahi komitmen,"tegas Supraja.

Mahasiswa Tidak Keberatan
Pada umumnya mahasiswa yang ditemui Bulaksumur Pos tidak melihat indikasi komersialisasi pendidikan pada semester pendek. Biaya semester pendek dianggap tidak terlalu memberatkan ."Biayanya cukup relevan dengan keuntungan yang didapat mahasiswa ,yaitu bisa mempercepat masa studi," ujar Melika, mahasiswa jurusan Administrasi Negara, FISIPOL. Hal ini disetujui Ervi -mahasiswi Matematika MIPA- dan Indri dari Fakultas Kehutanan . "Tapi kalau bisa sih,semurah-murahnya,agar semua mahasiswa bisa ikut," seloroh Yudi, mahasiswa Filsafat.
Tentang materinya ,mereka bahkan menginginkan tidak hanya Mata Kuliah Umum (MKU) yang diberikan, tapi juga Mata Kuliah Keahlian (MKK ) dan Mata Kuliah Pilihan (MKP). Dengan catatan, mata kuliah tersebut hanya bisa diambil oleh mahasiswa yang mengulang , bukan untuk mahasiswa yang belum pernah mengambilnya."Kalau hanya dalam waktu satu setengah bulan kita mengambil MKK atau MKP baru, rasanya terlalu berat. Karena perlu lebih banyak membaca dan belajar agar lebih paham," ujar Melika.
Hal senada diungkapkan Ervi, yang khawatir semester pendek hanya akan menjadi ajang untuk sebatas mencari nilai sehingga tidak begitu 'menghayati' mata kuliah yang dipelajarinya. Supraja juga merasa keberatan kalau mata kuliah baru diintroduksi lewat semester pendek. Alasannya, dalam program yang serba 'terbatas dan tergesa' ini, proses belajar relatif akan lebih cepat sehingga cenderung sulit untuk mengharapkan ada internalisasi dari mahasiswa.

Perlu Revisi
Terlepas dari kontroversi tadi, pelaksanaan semester pendek memang perlu dikritisi. Mulai dari sarana, prasarana, biaya, sistem evaluasi sampai dengan infrastruktur. Butuh penataan yang sistematis dan persiapan yang lebih matang. Selama ini pelaksanaan semester pendek memang dikenal lebih longgar dari semester reguler. Mulai dari isu nilai lebih mudah, juga absen yang lebih longgar.Untuk itu harus mulai diperbaiki sistemnya agar semester pendek tidak terkesan mereduksi kualitas pendidikan. Misalnya , harus ada jaminan bahwa dosen akan memberikan kuliah sedikitnya 80% dari seluruh jam kuliah. Selain itu, biaya yang lebih dapat dijangkau oleh semua mahasiswa sehingga tidak terkesan komersial.

Juga harus diperhatikan pertimbangan substansi akademik, yaitu bagaimana menjadikan waktu satu setengah bulan itu menjadi efektif bagi mahasiswa sehingga mampu menginternalisasikan pengetahuan yang didapatnya. Waktu yang panjang memang tidak menjamin mahasiswa berhasil menyerap substansi kuliah dengan sempurna ,tapi jangan sampai efisiensi menjadi satu-satunya pertimbangan mahasiswa ketika mengikuti semester pendek. Apalagi jika sampai mereduksi kualitas pendidikan."Akan sangat berbahaya bagi dunia pendidikan jika mahasiswa cenderung pragmatis dan serba instant," tukas Supraja.
(Marina bulaksumur)