EDISI 38, 25 SEPTEMBER 2001

Sedikit Praktek Banyak Kosong

Keluhan minimnya fasilitas tidak hanya dirasakan mahasiswa D3 Broadcasting yang kini sedang dibekukan. Banyak program-program D3 lain di UGM yang kondisinya juga memprihatinkan.

Sebagaimana dikeluhkan Dady, mahasiswa D3 Perpustakaan, selama setahun kuliah dia merasa masih asing dengan perpustakaan. Menurutnya, hal itu karena mahasiswa jarang praktek di perpustakaan. Bahkan selama setahun menjadi mahasiswa perpustakaan, ia belum pernah dikenalkan dengan situasi perpustakaan oleh dosen.
"Prakteknya itu paling-paling cuma disuruh ngerjakan tugas dirumah, itupun tidak dievaluasi. Padahal namanya ilmu terapan kan lebih mudah dimengerti lewat praktek langsung di lapangan," katanya sambil menghembuskan nafas panjang. Selain itu, fasilitas praktek yang tersedia tergolong masih tradisional. "Pantas lulusan sini banyak yang nggak diterima di Jakarta (UI-red) atau Bandung (UNPAD-red), kita ketinggalan teknologi," katanya. Dady mengaku bingung saat pertama kali menggunakan sitem CD/ISIS untuk menelusuri buku dengan komputer. Ia menyesalkan sistem komputerisasi perpustakaan tidak didapatkan di perkuliahan.

Jurusan Anak Tiri
Banyak mahasiswa D3 juga mengeluh tentang keharusan mereka kuliah sore hari, karena mereka masih harus berbagi ruangan dengan S1. Meraka juga selalu dinomor duakan di fakultasnya. Padahal mereka telah membayar biaya pendidikan yang lebih mahal. Nyatanya, kesempatan belajar selalu dibedakan. "Ada beberapa mata kuliah yang seharusnya dua sks dijadikan satu sks karena harus antri di lab" ujar Jacques, mahasiswa D3 Perancis.
Masalah dosen yang otoriter juga mewarnai perkuliahan D3. Mereka bahkan sering mengubah jadwal seenak udel dan bolos ngajar tanpa konfirmasi. Hal ini tentu saja mengganggu proses kuliah. Asep, mahasiswa D3 Komputer dan Sistim Informatika (Komsi), mengaku beberapa dosennya suka mengajar seenaknya. Bahkan ada yang datangnya terlambat lebih dari satu jam. Yang lebih mengesalkan, ada dosen yang justru bangga saat datang telat. "Kemarin saat saya datang tidak ada orang, karena saya terlambat satu jam," kata Asep mengutip perkataan dosennya.
Tidak adanya dosen yang dikhususkan mengajar program D3 dituding Asep sebagai penyebab seringnya dosen absen mengajar.

Kebutuhan Pendidikan Rakyat
D3 di UGM menurut Prof. Dr. Sahid Susanto,MS., Kepala Pusat Studi Perencanaan Manajemen Perguruan Tinggi, dianggap telah keluar dari fitrah sebuah lembaga pendidikan berprogram terapan yang setara dengan politeknik. Menurutnya, seharusnya program D3 lebih mengedepankan kurikulum dan fasilitas yang mendukung output-nya menjadi profesional.
Sahid mengakui kalau pendirian program D3 terkesan dipaksakan. Adanya demand tinggi dari masyarakat akan kebutuhan pendidikan memaksa UGM mendirikan program D3. Padahal, sebenarnya kelayakannya masih diragukan.
Adanya kesan fakultas bisa seenaknya membuka D3, menurut Sahid terjadi karena belum adanya aturan yang baku dari universitas tentang syarat pendirian program D3. Dengan demikian, keberadaan lembaga audit akademik dirasa perlu untuk menilai layak tidaknya sebuah program diploma berdiri. "Saat ini pembentukan academic auditing sedang dalam proses," tegasnya.

SPP Disunat Universitas
Perasaan dianaktirikan tidak hanya dirasakan oleh mahasiswanya saja. Para pengelola D3 pun merasa demikian. "D3 ini selalu direcoki Universitas, jadinya sulit mengembangkan diri," kata Dr.Prapto Suharsono, M.Sc., ketua pengelola D3 Geografi. Menurutnya, selama ini pendanaan D3 terganggu karena banyaknya uang yang disunat universitas.
"Dari SPP delapan ratus ribu per tahun (SPP 2000-red), yang dikembalikan ke pengelola hanya dua ratus lima puluh ribu. Itupun uang Sumbangan Pengembangan Akademik (SPA) masih dipotong universitas 15%" ungkap Prapto menggebu-gebu.
Meskipun mengakui kalau D3 menjadi ajang mengeruk uang, Dosen Penginderaan Jauh itu tetap mendukung keberadaan program ini. Menurutnya yang penting UGM tetap mengutamakan profesionalitas. Artinya, peningkatkan kualitas program profesi harus konsisten.

Didik