EDISI
38, 25 SEPTEMBER 2001 |
Bulak,
Mengisi Kekosongan Majalah Sastra
Meski
UGM memiliki begitu banyak bentuk penerbitan dengan banyak visi yang bervariatif.
Namun terasa kosong, karena ternyata UGM belum memiliki sebuah majalah
sastra. Meski UGM memiliki begitu banyak bentuk penerbitan dengan banyak
visi yang bervariatif. Namun terasa kosong, karena ternyata UGM belum
memiliki sebuah majalah sastra.
Atas
dasar itulah "bulak" hadir. "bulak" dalam kosakata
Jawa berarti sebuah ruang kosong, sebentang tanah lapang yang terbengkalai
dan tak terurus. Menurut Krisbudiman, pemimpin redaksi majalah bulak,
nama tersebut dipilih karena menggambarkan nasib dunia sastra. Memang
bulak terdengar agak wagu tanpa kata "sumur". Karena yang biasa
kita dengar adalah Bulaksumur. Tapi itulah nama yang tepat buat menggambarkan
dunia sastra Indonesia yang selalu malang.
Ide Pak
Amal
Sekitar Mei-Juni silam, rektor kita, Prof. Dr. Ichlasul Amal, menyampaikan
ide pembuatan majalah sastra pada Dr. Faruk, Kepala Pusat studi Kebudayaan
(PSK) UGM, yang kini juga menjabat pemimpin umum "bulak". Ide
ini tentu saja disambut baik oleh orang-orang di PSK termasuk Kris. Sebelumnya,
Kris juga pernah menyampaikan ide ini. Namun bedanya yang Kris gagas adalah
sebuah jurnal online. Karena kendala tertentu, ide itu akhirnya batal.
Langkah-langkah selanjutnya dilakukan. Mulai dengan bagi-bagi jabatan,
menyepakati job description masing-masing, merancang format dan contents,
nama majalahnya, rapat, bikin surat ini itu, bikin rancangan anggaran,
sampai guyon-guyonan. Akhirnya, setelah semua beres, majalah naik cetak
dan terbit Agustus kemarin.
Meski pada sampul majalah bulak tertulis "bulak, majalah sastra",
sehingga terkesan bulak mengklaim sebagai majalah komunitas sastra. Akan
tetapi, Kris mengatakan bahwa ini bukan klaim yang absolut. Jika ada orang
yang ingin menulis tinjauan seni-budaya juga dipersilahkan. Pada edisi
perdana misalnya, bulak diwarnai oleh tulisan Windhu Nuryanti
tentang wisata budaya. Selain itu, bulak juga terbuka untuk kontributor
yang ingin mengirim drawing kontemporer, foto pemandangan, resensi telenovela,
bahkan anekdot porno! "Yo monggo.." sahut Kris.
"bulak"
dan isinya
Materi "bulak" cukup beragam. Nama-nama rubriknya seolah ingin
menggambarkan kondisi Bulaksumur tempo doeloe. Ketika itu belum ada gedung-gedung
kampus UGM seperti sekarang. Rubrik "suket" misalnya, diperuntukkan
bagi puisi-puisi. Atau "luweng", rubrik yang menghadirkan esai-esai.
Kemudian "sumur" menampilkan resensi-resensi. Menurut Kris jumlah
rubrik yang disediakan sangatlah fleksibel, "Jumlahnya bisa mulur-mungkret
sesuai kebutuhan". Namun, seperti halnya media baru, "bulak"
belum punya format yang cukup menarik. Dari segi isi juga kurang 'membumi'
mengobok-kobok tentang sastra.
Untuk sementara, majalah bulak memang belum berniat mengkomersilkan diri.
Dari segi pendanaan misalnya, Kris mengaku volume perdana yang terbit
gratis ini sepenuhnya didanai rektorat. "Namun untuk edisi-edisi
mendatang kami mengusahakan sumber daya lain, barangkali sponsor, iklan,
atau dari alumni UGM yang seabreg-abreg itu!," tutur Kris menjelaskan.
Sudah menjadi impian setiap media ingin bisa terbit rutin. Namun, dalam
hal ini "bulak" nggak muluk-muluk.
"bulak" tidak memaksakan diri untuk terbit teratur. Meskipun
usaha untuk bisa terbit secara berkala tetap ada.
Nissa
|