Edisi
44-05/02/2002
Kontroversi Kurikulum di Masa Otonomi
Status otonomi kampus yang dinikmati UGM ternyata tidak mempunyai
kaitan langsung dengan perubahan kebijakan kurikulum. Namun dilain
pihak, financial effect dari otonomi kampus turut mempengaruhi perubahan
orientasi dari kurikulum.
Kurikulum
adalah substansi dari sebuah sistem pendidikan. Termasuk dalam perguruan
tinggi. Cakupannya tidak hanya menyangkut materi apa saja yang harus
didapatkan oleh mahasiswa, tetapi juga bagaimana cara penyampaian
dan penilaian. Ini berarti kurikulum menjadi pedoman penyelenggaraan
kegiatan belajar mengajar di perguruan tinggi.
Sebelum otonomi bergulir, pedoman penyelenggaraan tersebut merupakan
otoritas penuh pemerintah pusat. Lewat Dirjen Dikti, pemerintah
mengadakan sebuah kurikulum nasional. Karena bersifat nasional,
maka setiap perguruan tinggi di lingkungan Depdiknas, termasuk UGM,
wajib menjalankannya.
Pola kebijakan yang sentralistik ini berakibat pada tidak adanya
kebebasan akademik bagi perguruan tinggi. Dimana lembaga pendidikan
tidak dapat menentukan kurikulum yang dipandang cocok dan perlu.
Perubahan 'besar' kemudian terjadi. Turunnya Keputusan Mendiknas
No 232/2000 tentang kurikulum pendidikan tinggi mengisyaratkan bahwa
selambat-lambatnya mulai tahun 2002 tidak diberlakukan lagi Kurikulum
Nasional. Artinya, Dirjen Dikti sudah tidak menetapkan kurikulum
nasional. Akan tetapi, lewat KepMendiknas No 232/2000, pemerintah
tetap memberikan rambu-rambu. Ini menunjukkan UGM masih belum dapat
menyusun sendiri kurikulumnya secara bebas. Karena masih ada kerangka
yang harus diikuti.
Kurikulum pendidikan tinggi berdasarkan keputusan tersebut terdiri
dari kurikulum inti dan kurikulum institusional. Mata kuliah seperti
Agama, Pancasila dan Kewarganegaraan masuk dalam kurikulum inti.
Ketiganya, sekali lagi masih berlaku secara nasional. Sedangkan
perguruan tinggi diberi otoritas menyangkut kurikulum institusional
yang disusun sesuai kebutuhan dan ciri khas perguruan tinggi bersangkutan.
Ibaratnya, pemerintah memberikan sedikit ruang gerak bagi perguruan
tinggi. Namun tetap dibatasi dalam kerangka yang sudah ditentukan.
***
Uniknya,
Enam hari setelah keputusan tersebut turun, UGM mendapatkan status
sebagai Badan Hukum Milik Negara lewat PP 153/2000. Otonomi kampus
pun didapatkan. Apabila dicermati, sebenarnya perubahan kebijakan
kurikulum di lingkungan UGM tersebut bukan lantaran status otonomi
kampus yang didapatkan. Tetapi karena KepMendiknas No. 232/2000.
Dalam statusnya yang otonom, idealnya UGM juga memiliki otonomi
dalam menentukan kurikulum yang akan dipakai. Apalagi jika dilihat
dari hirarki perundang-undangan. PP 153/2000 tentu lebih tinggi
dari KepMendiknas 232/2000. Sehingga UGM sebenarnya tidak perlu
lagi mengikuti KepMendiknas tersebut. Tetapi kenyataannya, KepMendiknas
tersebut tetap akan dijalankan mulai tahun 2002. Beberapa fakultas
malah sudah mulai berbenah dan menyiapkan diri.
Memang sangat disayangkan dalam PP 153 tahun 2000 tersebut tidak
tercantum masalah kurikulum. Jadi bisa dikatakan perubahan yang
terjadi dalam hal kurikulum tidak memiliki kaitan langsung dengan
status otonomi kampus yang didapat UGM.
***
Sehubungan
dengan perubahan kebijakan kurikulum, UGM mempunyai kebijakan khusus.
Otoritas dalam penyusunan kurikulum institusional didesentralisasikan
ke tiap-tiap fakultas. Fakultas Farmasi misalnya, telah siap dengan
rancangan kurikulum baru dan akan dilaksanakan mulai tahun 2002.
Kebijakan desentralisasi ini berarti memperpendek jalur birokrasi.
Dengan sistem seperti ini tentunya akan lebih mudah merespon aspirasi
dari dosen dan mahasiswa. Proses birokrasi tatkala ada usulan mata
kuliah baru atau bahkan penghapusan mata kuliah tentunya akan lebih
mudah terjadi.
Namun yang paling mendasar dalam perubahan kurikulum sebenarnya
adalah orientasi dari kurikulum sendiri. Kurikulum ke depan tampaknya
akan lebih bersifat market oriented. Tujuannya adalah agar lulusan
yang dihasilkan lebih cepat terserap dunia kerja. Ini berarti kurikulum
institusional yang menjadi kewenangan perguruan tinggi nantinya
akan sangat menekankan pada ketrampilan. Tak luput juga program
studi S1 yang sebenarnya berada dalam jalur yang lebih menekankan
pada kajian ilmu. Akibatnya kerancuan jalur sarjana dan diploma
yang selama ini terjadi akan semakin terlihat.
Di satu sisi muncul pula keraguan kemampuan kurikulum dalam mengikuti
dinamika pasar tenaga kerja yang sangat aktif. Padahal perubahan
kurikulum terjadi dalam kurun waktu lima tahun. Ini mungkin dapat
terjawab dengan terjadinya perubahan dalam pasar tenaga kerja yang
masih bersifat linier. Atau tren perubahan menurut yang telah dapat
diperkirakan arahnya. Masalahnya, kalau hanya mengikuti tren, lulusan
UGM akan selalu ketinggalan dengan lulusan dari negeri yang menciptakan
tren tersebut.
Mungkin yang dibutuhkan mahasiswa UGM adalah kurikulum yang memberikan
kemampuan mengikuti perubahan yang terjadi di pasar kerja. Bukan
hanya ketrampilan masuk dunia kerja yang sangat cepat berubah.
Status otonomi kampus memang mengandung konsekuensi bahwa secara
finansial UGM harus membiayai sendiri segala aktivitasnya. UGM tidak
bisa lagi mengandalkan pemasukan dari subsidi pendidikan yang dulu
dinikmatinya. 'Untungnya' ada bantuan seperti dari Bank Dunia. Namun
untuk memperoleh bantuan tersebut ada beberapa kriteria penilaian,
salah satunya kemampuan menghasilkan lulusan yang mempunyai kemampuan
yang sesuai dengan kebutuhan pasar.
Untuk memperoleh dana yang sangat dibutuhkan dalam otonomi kampus
ini, mau tidak mau UGM harus mengikuti kemauan para pemberi dana.
Disini terlihat bahwa financial effect dari otonomi kampus ternyata
dapat mempengaruhi perubahan orientasi dari kurikulum.
Kurikulum institusional disusun sesuai kebutuhan dan ciri khas perguruan
tinggi yang bersangkutan. Serta ketika UGM butuh uang untuk hidup.
Celakanya kurikulum pun harus 'dijual'.
Andre
Mahasiswa ISIPOL 2000
|