14/08/00 Hak Atas Kekayaan Intelektual Wajah Baru Imperialisme Konsep HAKI belum menjadi sesuatu yang populer di Indonesia. Untuk itu, Bulaksumur beberapa waktu lalu menyelenggarakan diskusi tentang HAKI dengan pembicara Erwan Rosa, Mahasiswa Fakultas Filsafat UGM dan Eric Hiariej, dosen jurusan Hubungan Internasional Fisipol UGM. Berikut ini rangkuman diskusinya. Meski terkesan asing, persoalan hak atas kekayaan intelektual (HAKI) sebenarnya tidak jauh dari kehidupan sehari-hari. Persoalan HAKI menyangkut urusan fotokopi buku, persewaan CD Windows, sampai celana jeans. Bukan rahasia kalau Indonesia dan banyak negara berkembang lain adalah surga bagi pembajak. Di Indonesia bahkan hampir tak ada yang tak bisa dibajak. Mulai dari pakaian, makanan, parfum, barang elektronik sampai buku. Entah bagaimana mahasiswa di Indonesia bila suatu saat benar-benar ada razia di kios-kios fotokopi dan persewaan CD software untuk memastikan tidak ada pelanggaran hak cipta. Namun sebaiknya semua bersiap-siap, karena pada tahun 1994 Indonesia telah meratifikasi perjanjian TRIPs (Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights). Konsekuensinya, sejak 1 Januari 2000, Indonesia harus sudah menerapkan semua perangkat hukum yang mengatur masalah HAKI. Dalam perjanjian TRIPs, ada banyak jenis HAKI yang diatur, yaitu hak cipta, hak paten, merek dagang, rahasia dagang, desain produk industri, indikasi geografis, dan perlindungan terhadap informasi yang dirahasiakan. Masuknya HAKI adalah kehendak negara maju yang merasa sangat dirugikan dengan praktik pembajakan (pelanggaran HAKI) di banyak negara berkembang. Amerika Serikat, misalnya, pada tahun 1995 saja telah dirugikan 6 miliar dollar AS oleh pembajak Asia. Lahirnya HAKI "Konsep HAKI memang asli barat," kata Erwan Rosa. Hal ini tak lepas dari perkembagangan kapitalisme yang juga lahir di barat. Sedang Eric Hiariej memaparkan bahwa meski hubungan internasional mengalami transformasi, pada esensinya praktik penjajahan utara atas selatan tetap ada. "Kalau dulu menggunakan meriam dan mesiu, sekarang melalui pasar bebas dan sistem perdagangan dunia," kata Eric. Imperialisme terus langgeng karena dominasi teknologi dan hegemoni budaya. Dua hal ini bekerja saling mendukung. "Dominasi atas negara berkembang tidak akan sekuat sekarang jika kita semua tidak suka hamburger dan tidak memakai celana jeans," kata Eric memberi contoh. Setiap perkembangan teknologi menuntut dibuatnya peraturan yang sesuai. Masyarakat negara maju telah menjadi masyarakat industri (atau bahkan pascaindustri) sehingga hampir segala bisa menjadi komoditas. Termasuk juga ide dan gagasan. Ide dan gagasan memiliki nilai ekonomis karena merupakan embrio teknologi. Dengan demikian, untuk melestarikan keunggulan teknologi negara maju, ide dan gagasan juga harus dilindungi. Maka diaturlah masalah HAKI dalam hukum internasional (perjanjian TRIPs). "Analisa atas perdagangan internasional jangan pada level negara saja, karena sekarang yang bermain adalah perusahaan multnasional semacam Coca-cola," Eric mengingatkan. Kalau ada minuman tiruan Coca-cola, yang rugi bukan negara Amerika, tapi perusahaannya. Tidak Adil Lantas apa yang salah dengan HAKI? "Meski diperlukan, HAKI, terutama paten, tetap merupakan aturan yang tidak adil," kata Erwan. Selain secara tradisional merupaan konsep yang asing bagi masyarakat negara berkembang, ekonomi pasar bebas adalah perlombaan yang berat sebelah. Negara berkembang jelas kalah start. Misalnya, tempe dan corak batik kalimantan, kekayaan tradisional Indonesia, sudah dipatenkan oleh orang asing. Mungkin suatu saat nanti, untuk menjual tempe kita harus membayar royalti pada sebuah perusahaan Amerika pemegang patennya. Aneh, karena tempe dan batik adalah hasil kejeniusan lokal Indonesia. Bagaimana Sikap Kita? Menurut Eric, selalu ada dua pilihan sikap. Yang pertama adalah bermain dalam sistem, dan yang kedua: keluar dari sistem. Banyak ahli yang sependapat, HAKI bisa menjadi sesuatu yang menguntungkan, asal Indonesia tahu taktik permainannya. Persoalannya tinggal bagaimana kita mempersiapkan diri. Pilihan kedua berarti tidak mematuhi TRIPs dan WTO, melawan arus utama dunia. Pilihan kedua mengandung konsekuensi yang tampak seram karena hal itu berarti menentang pasar bebas. "Saat ini orang menganggap HAKI dan hak milik individual sebagai sesuatu yang alamiah, wajar, dan logis. Orang sering lupa bahwa ada cara berpikir lain, bahwa sesuatu juga bisa dimiliki secara komunal," ujarnya melanjutkan. Sidang WTO yang terakhir di Seattle diwarnai dengan unjuk rasa sengit kelompok penentang perdagangan bebas. Pemikiran kelompok ini menjadi penting karena mengusung ide yang tidak dominan. Memang berat, tapi menurut Eric hal ini bukan mustahil. Syarat pertama dan utama keberhasilannya adalah pembongkaran hegemoni budaya. "Jangan makan pizza," katanya memberi contoh, "Mungkin untuk jangka pendek, hal ini utopis, tapi sebagai sebuah cita-cita, hal itu sah dan sangat menggoda." Tampaknya memang sulit berpikir alternatif. (Nino-bulaksumur). |