EDISI MAHASISWA BARU 2001

Selamat Datang Otonomi !

Universitas Gadjah Mada akan otonom. Kalimat itu terdengar manis setelah selama Orde Baru dunia pendidikan direcoki kepentingan penguasa. Tapi, kenapa otonomi kampus justru banyak ditentang?

Cerita bermula ketika Presiden (waktu itu) B.J. Habibie mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.61 Tahun 1999 yang mengubah status Perguruan Tinggi Negeri (PTN) menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Kewenangan negara mencampuri urusan lembaga perguruan tinggi mulai dikurangi. Nantinya, selain secara kelembagaan tidak lagi di bawah departemen pendidikan, PTN juga mendapat lampu hijau untuk mencari duit sendiri.

Konsep inilah yang kemudian lebih dikenal dengan istilah otonomi kampus. Empat PTN-Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada-ditunjuk sebagai pilot project. Sekarang berbagai persiapan mulai dilakukan sebelum proyek ini akan berlaku efektif tahun 2005.

Otonomi kampus segera menjadi perhatian kalangan universitas. Masalah finansial menjadi salah satu aspek yang kontroversial. Dengan status barunya, universitas diharapkan lihai memanfaatkan aset yang dimiliki untuk mendapat pemasukan, menambal minimnya subsidi pemerintah dan SPP. Logikanya sederhana: semakin banyak uang yang di kantong universitas, semakin besar honor dosen dan karyawan, semakin canggih alat-alat laboratorium, semakin lengkap koleksi jurnal dan buku di perpustakaan, semakin baik pula kualitas pendidikan yang bisa diberikan.

Demi tujuan mulia itu, manajemen universitas mau tak mau harus ikut prinsip pasar: menjual apa yang laku dijual. Dengan kata lain, produk universitas-para lulusan, hasil riset, dll-harus sesuai keinginan calon konsumennya, dunia usaha.

Perdebatan pun muncul. Yang optimis melihat hal ini sebagai momentum memperbaiki kehidupan pendidikan tinggi dan kesempatan mensejajarkan diri dengan universitas negara yang lebih maju. Namun otonomi kampus dilihat beberapa kalangan (termasuk mahasiswa) sebagai upaya negara melarikan diri dari tanggung jawab membiayai pendidikan. Otonomi kampus juga dikhawatirkan memunculkan praktek komersialisasi pendidikan, universitas hanya akan menjadi pelayan dunia usaha. Kalau itu terjadi, universitas bukannya otonom, melainkan justru menjadi bagian dari sistem pasar bebas dan tak mungkin kritis terhadap situasi sosial-politik-ekonomi. Gelombang protes mencapai puncaknya pada akhir 1999, ketika serangkaian demonstrasi digelar. "Pendidikan akan kehilangan idealismenya," teriak mereka.

Kewajiban Negara
Pengetahuan adalah hak setiap orang, miskin atau kaya. Negara wajib memastikan agar sekolah tak cuma bisa dinikmati golongan masyarakat yang kebetulan lebih tebal dompetnya. Tentu saja cita-cita itu butuh biaya. Sayangnya, pendidikan tak pernah mendapat cipratan bagian anggaran negara (APBN) yang layak. Dulu ketika pundi-pundi negara penuh dan pertumbuhan ekonomi melejit pun pos pendidikan kalah dibanding anggaran beli senjata. Sekarang, setelah krisis, para penentu kebijakan berlindung dibalik alasan cekaknya duit negara.

Minimnya anggaran pendidikan menunjukkan penentu kebijakan tak paham pentingnya investasi pendidikan. Beda misalnya dengan Jerman. Setelah kalah perang, Jerman dengan jitu melihat pendidikan sebagai sarana meraih masa depan. Kemudian Jerman menjadi negara pertama yang konsisten memberlakukan wajib belajar bagi warganya sampai tingkat universitas. Sampai saat ini, pendidikan di Jerman bebas biaya, bahkan bagi orang asing! Atau Malaysia yang tahun ini menanggarkan 25% belanja negaranya untuk pos pendidikan.

Sedang APBN kita tahun 2001, jatah pos pendidikan cuma dapat 4,4% alias kira-kira Rp 13 trilliun untuk sekitar 500 ribu sekolah dan 51 PTN. Duit sejumlah itu tentu saja jauh dari ideal.

Komersialisasi Tidak Tabu
Situasi diatas telah melahirkan konsep otonomi kampus. Kalau mau kaya dan bermutu, universitas harus dijalankan dengan pendekatan bisnis: profesional, efisien, dan berorientasi pasar. Pertanyaannya adalah, apa benar komersialisasi mengancam idealisme? Mochtar Buchori dalam tulisannya di Basis edisi 12 (Januari-Februari 1998) menuliskan, istilah "komersialisasi pendidikan" yang berkembang saat ini dapat merujuk pada 2 hal yang berlainan. Pertama, pada sekolah dengan program dan kelengkapan mahal dan membebankan biaya pada peserta didiknya. Kedua, merujuk pada lembaga pendidikan yang mengabaikan kewajiban-kewajiban pada peserta didiknya, padahal kepada mereka dipungut biaya sekolah yang mahal. Komersialisasi jenis kedua inilah yang merugikan dan harus ditentang.

Adalah wajar bila pendidikan yang bagus memerlukan biaya tinggi untuk alat-alat praktikum (agar tak seperti museum), perpustakaan yang mencerdaskan, ruang kuliah yang kondusif maupun gaji dosen yang merangsang minat mendidik sambil terus belajar. Apalagi bila memang tak ada subsidi dari negara, beban pembiayaan sepenuhnya bakal ditanggung peserta didik.

Konon karena tak termasuk yang disubsidi pemerintah, program D3 dan ekstensi yang marak muncul menyebabkan pungutan kuliah lebih berat. Kini tarif yang dikenakan akan lebih mahal lagi karena program-program nonreguler ini diharapkan dapat menjadi tambang dana bagi pemenuhan kebutuhan fakultas maupun universitas. Bahkan ada rencana menambah jalur mekanisme penerimaan mahasiswa baru. Selain yang kita kenal sekarang (UMPTN, PBUD dan PBAD), akan ada jalur baru yang disebut special test dan special admission. Jalur ini, konon, lebih mempertimbangkan besarnya uang sumbangan yang mampu diberikan si calon mahasiswa.

Kita tak usah memungkiri kenyataan bahwa memang banyak orang yang cukup mampu "membeli" pendidikan. Benar kata Pak Bendot, "Hanya mereka yang layak sajalah yang menerima sobsidi."

Yang penting adalah pengelolaan uang yang tepat, agar "keuntungan" yang diperoleh kembali pada pemenuhan kelengkapan infrastruktur pendidikan dan penerapan subsidi silang pada mahasiswa yang kurang mampu. Bukan hanya menjadi ajang proyek pengurus fakultas, atau dosen yang mengabaikan kewajiban mengajar di kelas reguler karena mengejar honor tinggi di program ekstensi. Sayangnya praktek semacam itu sudah mulai menggejala di UGM.

Tingginya tarif yang dikenakan pada mahasiswa nonreguler harus diikuti dengan kualitas program pendidikan yang tinggi. Kampus jangan hanya menjadi penjual ijazah, memanfaat orang-orang pengidap "paper syndrome" yang berani mengeluarkan banyak duit untuk sekedar selembar ijazah, tanpa banyak peduli kualitas pendidikan yang dia dapatkan.

Ukhid