Selamat Datang Otonomi ! Universitas
Gadjah Mada akan otonom. Kalimat itu terdengar manis setelah selama Orde
Baru dunia pendidikan direcoki kepentingan penguasa. Tapi, kenapa otonomi
kampus justru banyak ditentang? Konsep inilah yang kemudian lebih dikenal dengan istilah otonomi kampus. Empat PTN-Institut Pertanian Bogor, Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia dan Universitas Gadjah Mada-ditunjuk sebagai pilot project. Sekarang berbagai persiapan mulai dilakukan sebelum proyek ini akan berlaku efektif tahun 2005. Otonomi
kampus segera menjadi perhatian kalangan universitas. Masalah finansial
menjadi salah satu aspek yang kontroversial. Dengan status barunya, universitas
diharapkan lihai memanfaatkan aset yang dimiliki untuk mendapat pemasukan,
menambal minimnya subsidi pemerintah dan SPP. Logikanya sederhana: semakin
banyak uang yang di kantong universitas, semakin besar honor dosen dan
karyawan, semakin canggih alat-alat laboratorium, semakin lengkap koleksi
jurnal dan buku di perpustakaan, semakin baik pula kualitas pendidikan
yang bisa diberikan. Demi tujuan mulia itu, manajemen universitas mau tak mau harus ikut prinsip pasar: menjual apa yang laku dijual. Dengan kata lain, produk universitas-para lulusan, hasil riset, dll-harus sesuai keinginan calon konsumennya, dunia usaha. Perdebatan pun muncul. Yang optimis melihat hal ini sebagai momentum memperbaiki kehidupan pendidikan tinggi dan kesempatan mensejajarkan diri dengan universitas negara yang lebih maju. Namun otonomi kampus dilihat beberapa kalangan (termasuk mahasiswa) sebagai upaya negara melarikan diri dari tanggung jawab membiayai pendidikan. Otonomi kampus juga dikhawatirkan memunculkan praktek komersialisasi pendidikan, universitas hanya akan menjadi pelayan dunia usaha. Kalau itu terjadi, universitas bukannya otonom, melainkan justru menjadi bagian dari sistem pasar bebas dan tak mungkin kritis terhadap situasi sosial-politik-ekonomi. Gelombang protes mencapai puncaknya pada akhir 1999, ketika serangkaian demonstrasi digelar. "Pendidikan akan kehilangan idealismenya," teriak mereka. Kewajiban
Negara Minimnya anggaran pendidikan menunjukkan penentu kebijakan tak paham pentingnya investasi pendidikan. Beda misalnya dengan Jerman. Setelah kalah perang, Jerman dengan jitu melihat pendidikan sebagai sarana meraih masa depan. Kemudian Jerman menjadi negara pertama yang konsisten memberlakukan wajib belajar bagi warganya sampai tingkat universitas. Sampai saat ini, pendidikan di Jerman bebas biaya, bahkan bagi orang asing! Atau Malaysia yang tahun ini menanggarkan 25% belanja negaranya untuk pos pendidikan. Sedang APBN kita tahun 2001, jatah pos pendidikan cuma dapat 4,4% alias kira-kira Rp 13 trilliun untuk sekitar 500 ribu sekolah dan 51 PTN. Duit sejumlah itu tentu saja jauh dari ideal. Komersialisasi
Tidak Tabu Adalah
wajar bila pendidikan yang bagus memerlukan biaya tinggi untuk alat-alat
praktikum (agar tak seperti museum), perpustakaan yang mencerdaskan, ruang
kuliah yang kondusif maupun gaji dosen yang merangsang minat mendidik
sambil terus belajar. Apalagi bila memang tak ada subsidi dari negara,
beban pembiayaan sepenuhnya bakal ditanggung peserta didik. Konon
karena tak termasuk yang disubsidi pemerintah, program D3 dan ekstensi
yang marak muncul menyebabkan pungutan kuliah lebih berat. Kini tarif
yang dikenakan akan lebih mahal lagi karena program-program nonreguler
ini diharapkan dapat menjadi tambang dana bagi pemenuhan kebutuhan fakultas
maupun universitas. Bahkan ada rencana menambah jalur mekanisme penerimaan
mahasiswa baru. Selain yang kita kenal sekarang (UMPTN, PBUD dan PBAD),
akan ada jalur baru yang disebut special test dan special admission.
Jalur ini, konon, lebih mempertimbangkan besarnya uang sumbangan yang
mampu diberikan si calon mahasiswa. Kita
tak usah memungkiri kenyataan bahwa memang banyak orang yang cukup mampu
"membeli" pendidikan. Benar kata Pak Bendot, "Hanya mereka yang layak
sajalah yang menerima sobsidi." Yang penting adalah pengelolaan uang yang tepat, agar "keuntungan" yang diperoleh kembali pada pemenuhan kelengkapan infrastruktur pendidikan dan penerapan subsidi silang pada mahasiswa yang kurang mampu. Bukan hanya menjadi ajang proyek pengurus fakultas, atau dosen yang mengabaikan kewajiban mengajar di kelas reguler karena mengejar honor tinggi di program ekstensi. Sayangnya praktek semacam itu sudah mulai menggejala di UGM. Tingginya tarif yang dikenakan pada mahasiswa nonreguler harus diikuti dengan kualitas program pendidikan yang tinggi. Kampus jangan hanya menjadi penjual ijazah, memanfaat orang-orang pengidap "paper syndrome" yang berani mengeluarkan banyak duit untuk sekedar selembar ijazah, tanpa banyak peduli kualitas pendidikan yang dia dapatkan. Ukhid |