EDISI MAHASISWA BARU 2001

MAHASISWA MAU APA ?

Apa artinya menjadi mahasiswa? Menjadi mahasiswa bukan sekedar menjadi siswa yang 'maha', yang bukan lagi anak SMU canggung yang tiap hari mengenakan baju yang sama ke sekolah, yang bisa bolos kuliah dan mengatur jam belajarnya sendiri, yang pendapatnya harus dihargai orang tua (karena mahasiswa sudah dewasa dan bukan lagi remaja), yang boleh pulang malam karena jadi aktivis kampus, yang merasa punya hak omong politik serta kritik sana-sini, dst, dst.
Menjadi mahasiswa di Indonesia, sebagaimana di negara miskin lain, adalah sebuah kemewahan. Mewah, karena hanya 2% dari 200 juta manusia Indonesia yang cukup beruntung bisa jadi mahasiswa. Mewah, karena menjadi mahasiswa berarti punya akses informasi eksklusif (pepustakaan dan kuliah dosen top lulusan negara maju), akrab dengan perkembangan teknologi impor dari belahan lain dunia, dan berkesempatan jadi peneliti-manajer-psikolog-dosen-pejabat-insinyur-pengacara-pengusaha dan calon anggota kelas menengah Indonesia (yang berdasi, bermobil, dan menggenggam handphone). Dalam historiografi Indonesia abad XX, mahasiswa berada di tempat terhormat. Nama-nama yang sempat tercatat sebagai tokoh perjuangan melahirkan republik kebanyakan adalah mahasiswa. Mohammad Hatta, Soekarno, Sutan Sjahrir, Soetomo, Tan Malaka, Agus Salim, Cipto Mengunkusumo, adalah beberapa diantara yang paling dikenal. 'Indonesia' sendiri juga sebuah konsep baru yang dibentuk lewat bahasa, lewat koran-koran dan selebaran yang digarap para priyayi sekolahan tadi. Pada tahun 60-an, ketika harga-harga melambung, hawa politik super panas, dan Presiden Soekarno masih saja menggebu-gebu dengan "revolusi belum selesai"-nya, lagi-lagi mahasiswa memainkan peranan penting. Demonstrasi yang dipelopori mahasiswa dan didukung militer turut melicinkan jalan seorang jenderal tak terkenal menuju puncak kekuasaan. Dan selama 32 tahun, sang jenderal itu memimpin pembangunan nasional (depolitisasi massa, pemberangusan pers, doktrinasi pelajar, birokrasi yang korup, dan ekonomi kroni yang keropos). Ketika tahun 1997 rupiah terpuruk, himpitan ekonomi dan akumulasi ketidakpastian politik berubah menjadi ledakan sosial. Dan, sekali lagi, mahasiswa tampil keren dengan menduduki gedung MPR menuntut sang jenderal lengser. Jenderal yang sama yang dulu mereka antar menuju kursi kepresidenan. Cerita sejarah ini menggoda orang untuk menilai tinggi mahasiswa. Status mahasiswa menjadi sebuah kebanggan, karena mahasiswa bukan orang kebanyakan. Menjadi mahasiswa berarti menjadi anggota sebuah kelas sosial yang intelek dan cendekia. Tapi benarkah? Untuk menjawab pertanyaan ini, apa dan siapa 'intelektual' itu harus diperbincangkan dulu. Kata 'intelektual' berasal dari bahasa latin, interlego atau intellego, yang artinya "memisah-uraikan sambil mengendapkan dalam batin". Menurut arti ini, seorang intelektual harus mampu berpikir mendalam, menghayati sesuatu. Sebuah tugas yang butuh kekayaan batin sekaligus ketajaman berpikir. Proses "memisah-urai dan mengendapkan" ini pada hakekatnya adalah pencarian kebenaran. Dengan demikian, seorang intelektual adalah pencari dan kekasih kebenaran. Seperti Socrates, filsuf besar Yunani kuno, yang memilih mati menenggak racun. "Sekali-kali takkan aku mengubah haluan, meski harus mati berkali-kali," jawabnya ketika diberi kesempatan untuk mendapat ampunan pengadilan dengan syarat tak lagi bertanya dan berspekulasi. Ia membela kebebasannya sebagai seorang intelektual. Jelas, tidak setiap sarjana memiliki gairah menggelora akan ilmu (kebenaran) sekaligus memiliki imunitas terhadap godaan dan ancaman kekuasaan. Dengan demikian tidak setiap mahasiswa bakal menjadi intelektual. Dari kacamata lain, mahasiswa jauh dari sosok patriot universitas pembela rakyat dan kebenaran (seperti dalam bayangan Soe Hok Gie) dengan panji-panji "kepeloporan intelektualnya". Kehidupan universitas, yang sering dianggap sarang kaum intelektual, seringkali tidak semegah gaungnya. Tak terkecuali Gadjah Mada. Bersiaplah tertawa pahit melihat potret buram dunia mahasiswa UGM: mahasiswa yang segan berdiskusi, yang bacaannya sebatas diktat dan catatan kuliah, yang mencontek waktu ujian demi sebuah angka yang disebut indeks prestasi, yang gugup bila diminta menulis makalah, yang gagap dalam menerapkan ilmunya, yang gairah utamanya bukan mencari pemahaman melainkan menjadi sarjana secepat-cepatnya. Maka wajar saja bila Goenawan Mohamad, budayawan dan pendiri majalah Tempo, tak antusias bicara tentang kepeloporan intelektual, apalagi kepeloporan mahasiswa. Bukankah yang menjadi arsitek pembangunan Orde Baru, yang bertanggung jawab atas keilmiahan konsep ekonomi pertumbuhan yang rapuh, dulunya juga mahasiswa? Juga para pejabat korup yang mencuri uang pajak, eksekutif bank-bank berkredit macet yang menilep tabungan masyarakat, sejarawan dan ilmuwan penulis buku-buku sejarah, PSPB dan PMP yang membodohkan, serta akuntan dan pengacara yang lihai menutupi jejak kejahatan kerah putih?
Nino