Kekerasan Akademik Selama
kuliah, pantas kalau masalah-masalah akademik mendapat perhatian besar.
Karena sistem belajar di universitas beda dengan yang digunakan di SD
sampai SMU, nggak heran kalau banyak yang kesulitan beradaptasi. Mengapa sebenarnya kekerasan akademik bisa terjadi? Tindakan macam apa yang bisa dianggap sebagai kekerasan akademik? Jawaban kedua pertanyaan ini berkaitan dengan masalah kebebasan akademik. Artinya, kebebasan dan kekerasan akademik adalah dua hal berkaitan erat. Tidak adanya jaminan atas kebebasan akademik adalah masalah pokok yang lantas memunculkan kekerasan akademik. Rumit ya? Biar nggak bingung, kita uraikan saja satu persatu. Kebebasan
Akademik Lebih
khusus lagi, kebebasan akademik bagi dosen berarti kebebasan untuk mengembangkan
segala kegiatan yang akan meningkatkan kemampuan intelektual mereka, mempresentasikan
penemuan-penemuan dan mempublikasikan hasil riset tanpa sensor, serta
mengajar menurut cara-cara yang mereka anggap profesional. Untuk mahasiswa
sendiri, elemen dasar dari kebebasan akademik adalah kebebasan untuk mereguk
pengetahuan yang mereka inginkan, menyusun kesimpulan-kesimpulan, serta
menyatakan pendapat. Kebebasan
akademik bukan hanya untuk kepentingan kenyamanan para dosen dan mahasiswa
saja, melainkan juga demi kepentingan masyarakat luas. Kebutuhan masyarakat
akan pengetahuan akan terpenuhi dengan baik jika kegiatan akademik berjalan
dengan bebas dan sehat. Bila kebebasan akademik tidak dijamin, ilmu bisa
dijadikan alat kekuasaan. Misalnya, pelajaran seperti Pancasila dan Kewiraan
digunakan pemerintah untuk melakukan penanaman doktrin. Mahasiswa cuma
diajari satu cara pandang saja, tidak boleh ada perbedaan pendapat. Pembatasan
pikiran kritis semacam ini bisa juga terjadi di mata kuliah lain. Fenomena
ini sebenarnya tak cuma ada Indonesia. Di negara-negara yang tradisi demokrasinya
lemah, ilmu dan sekolah (termasuk universitas) dianggap sebagai alat propaganda
nomor satu. Memang, institusi formal seperti universitas (apalagi yang
dibiayai pemerintah) cenderung punya watak setia dan tidak kritis pada
kekuasaan. Padahal seharusnya ilmu diabdikan untuk kepentingan seluruh
manusia, tidak hanya segelintir orang saja. Di kalangan mahasiswa, barangkali kekerasan akademik yang paling populer adalah subyektifitas nilai yang diberikan dosen. Banyak mahasiswa mengeluh karena dosen tidak punya ukuran yang jelas untuk menilai pengetahuan mahasiswa. Kadan bahkan ada dosen yang punya "black list", dan memberi mereka yang terdaftar disana nilai yang jelek. Padahal masalahnya bisa jadi hanya sepele dan tidak berhubungan dengan kemampuan si mahasiswa. Masalahnya bisa beragam, mulai dari presensi yang bolong-bolong, pakai kaos oblong atau sandal saat kuliah, hingga sering menentang pendapat dosen. Tentu ini tidak adil, karena nilai berhubungan dengan kemampuan, bukan penampilan. Selain
itu, banyak peraturan yang bisa dijadikan kedok bagi dosen dan pejabat
fakultas/universitas untuk merugikan mahasiswa. Ini bisa juga digolongkan
sebagai kekerasan akademik. Peraturan tentang dosen pembimbing, misalnya.
Kalau dosen pembimbing sulit ditemui, mahasiswa jadi tidak punya kesempatan
konsultasi. Ini sudah terhitung kekerasan pertama. Yang kedua, mahasiswa
bisa terlambat mengurus administrasi KRS (Kartu Rencana Studi) - karena
masalah tanda tangan dosen pembimbing - sehingga harus didenda atau dipotong
jatah SKS-nya. Bagi mahasiswa yang sedang menyelesaikan skripsi kesulitan
menghadap dosen tentu akan menghambat kelulusannya. Meski
jumlahnya jauh lebih besar dari elemen universitas lainnya, mahasiswa
sering kali tak punya posisi tawar yang cukup kuat dalam masalah-masalah
akademik. Kebanyakan mahasiswa menyerah lebih memilih diam. Banyak yang
berpikir, selembar ijazah dengan sederet nilai tinggi lebih berarti dibandingkan
perjuangan heroik untuk iklim demokratis. Jaman memang sudah berbeda ya?
Alia |
|