EDISI MAHASISWA BARU 2001

Kekerasan Akademik

Selama kuliah, pantas kalau masalah-masalah akademik mendapat perhatian besar. Karena sistem belajar di universitas beda dengan yang digunakan di SD sampai SMU, nggak heran kalau banyak yang kesulitan beradaptasi.

Perbedaan ini menyebabkan ketidaktahuan sistem akademik dan memancing terjadinya 'kekerasan akademik'. Bisa jadi istilah ini terdengar aneh di benak mahasiswa baru. Bahkan di kalangan mahasiswa yang sudah lama kuliah pun kekerasan akademik belum jadi bahan obrolan yang populer. Padahal para 'pejuang hak mahasiswa' yakin bahwa kekerasan akademik ini sering terjadi di lingkungan kampus.

Mengapa sebenarnya kekerasan akademik bisa terjadi? Tindakan macam apa yang bisa dianggap sebagai kekerasan akademik? Jawaban kedua pertanyaan ini berkaitan dengan masalah kebebasan akademik. Artinya, kebebasan dan kekerasan akademik adalah dua hal berkaitan erat. Tidak adanya jaminan atas kebebasan akademik adalah masalah pokok yang lantas memunculkan kekerasan akademik. Rumit ya? Biar nggak bingung, kita uraikan saja satu persatu.

Kebebasan Akademik
Apa sih kebebasan akademik itu? Kebebasan akademik bisa diartikan sebagai kebebasan bagi dosen untuk mengajar dan bagi mahasiswa untuk belajar tanpa intervensi dan represi pihak luar (pemerintah, aparat keamanan, masyarakat, dll). Selain itu, juga tidak boleh ada tekanan institusional dari dalam universitas sendiri.

Lebih khusus lagi, kebebasan akademik bagi dosen berarti kebebasan untuk mengembangkan segala kegiatan yang akan meningkatkan kemampuan intelektual mereka, mempresentasikan penemuan-penemuan dan mempublikasikan hasil riset tanpa sensor, serta mengajar menurut cara-cara yang mereka anggap profesional. Untuk mahasiswa sendiri, elemen dasar dari kebebasan akademik adalah kebebasan untuk mereguk pengetahuan yang mereka inginkan, menyusun kesimpulan-kesimpulan, serta menyatakan pendapat.

Kebebasan akademik bukan hanya untuk kepentingan kenyamanan para dosen dan mahasiswa saja, melainkan juga demi kepentingan masyarakat luas. Kebutuhan masyarakat akan pengetahuan akan terpenuhi dengan baik jika kegiatan akademik berjalan dengan bebas dan sehat. Bila kebebasan akademik tidak dijamin, ilmu bisa dijadikan alat kekuasaan. Misalnya, pelajaran seperti Pancasila dan Kewiraan digunakan pemerintah untuk melakukan penanaman doktrin. Mahasiswa cuma diajari satu cara pandang saja, tidak boleh ada perbedaan pendapat. Pembatasan pikiran kritis semacam ini bisa juga terjadi di mata kuliah lain.

Fenomena ini sebenarnya tak cuma ada Indonesia. Di negara-negara yang tradisi demokrasinya lemah, ilmu dan sekolah (termasuk universitas) dianggap sebagai alat propaganda nomor satu. Memang, institusi formal seperti universitas (apalagi yang dibiayai pemerintah) cenderung punya watak setia dan tidak kritis pada kekuasaan. Padahal seharusnya ilmu diabdikan untuk kepentingan seluruh manusia, tidak hanya segelintir orang saja.

Kekerasan Akademik

Nah, kalau kita sudah tahu definisi kebebasan akademik, akan lebih mudah bagi kita untuk membahas masalah kekerasan akademik. Secara sederhana, kekerasan akademik bisa diartikan sebagai tindakan yang tidak menghormati kebebasan akademik warga kampus. Kalau di sebuah universitas tak ada jaminan kebebasan akademik, bisa dipastikan kalau kekerasan akademik akan sering menimpa dosen dan mahasiswanya.

Di kalangan mahasiswa, barangkali kekerasan akademik yang paling populer adalah subyektifitas nilai yang diberikan dosen. Banyak mahasiswa mengeluh karena dosen tidak punya ukuran yang jelas untuk menilai pengetahuan mahasiswa. Kadan bahkan ada dosen yang punya "black list", dan memberi mereka yang terdaftar disana nilai yang jelek. Padahal masalahnya bisa jadi hanya sepele dan tidak berhubungan dengan kemampuan si mahasiswa. Masalahnya bisa beragam, mulai dari presensi yang bolong-bolong, pakai kaos oblong atau sandal saat kuliah, hingga sering menentang pendapat dosen. Tentu ini tidak adil, karena nilai berhubungan dengan kemampuan, bukan penampilan.

Selain itu, banyak peraturan yang bisa dijadikan kedok bagi dosen dan pejabat fakultas/universitas untuk merugikan mahasiswa. Ini bisa juga digolongkan sebagai kekerasan akademik. Peraturan tentang dosen pembimbing, misalnya. Kalau dosen pembimbing sulit ditemui, mahasiswa jadi tidak punya kesempatan konsultasi. Ini sudah terhitung kekerasan pertama. Yang kedua, mahasiswa bisa terlambat mengurus administrasi KRS (Kartu Rencana Studi) - karena masalah tanda tangan dosen pembimbing - sehingga harus didenda atau dipotong jatah SKS-nya. Bagi mahasiswa yang sedang menyelesaikan skripsi kesulitan menghadap dosen tentu akan menghambat kelulusannya.

Meski jumlahnya jauh lebih besar dari elemen universitas lainnya, mahasiswa sering kali tak punya posisi tawar yang cukup kuat dalam masalah-masalah akademik. Kebanyakan mahasiswa menyerah lebih memilih diam. Banyak yang berpikir, selembar ijazah dengan sederet nilai tinggi lebih berarti dibandingkan perjuangan heroik untuk iklim demokratis. Jaman memang sudah berbeda ya?

Alia