EDISI MAHASISWA BARU 2001

Jogja,Peristirahatan yang tak Pernah Istirahat

Awalnya adalah pesanggrahan untuk istirahat para Raja Mataram. Perkembangan zaman menyulapnya menjadi kota tak pernah istirahat.

Ketika Kerajaan Mataram belum terbagi dua, Jogja adalah kota kecil yang indah dan pesanggrahan Garjitawati milik Penguasa waktu itu, Sri Susuhunan Amangkurat Jawi. Setelah Sri Susuhunan Paku Buwono II bertahta, nama pesanggrahan itu diganti menjadi Ngayogya.

Sejak ditemukan oleh para pendirinya, kawasan Hutan Beringin di Selatan Gunung Merapi ini memang dijadikan peristirahatan Raja Kartasura. Sampai munculnya Perjanjian Gianti tahun 1755 yang membagi Mataram menjadi dua, sekaligus menjadi awal pembangunan Ibukota Kerajaan Ngayogya Adiningrat.

Kerajaan baru yang didirikan Sultan Hamengku Buwono I ini, dibangun dengan konsep kosentris yang menempatkan kraton sebagai negara agung dan pusat pemerintahan kerajaan. Di sekeliling kraton terdapat alun-alun, pasar, benteng, penjara, masjid, dan pemukiman penduduk.

Penataan kota Jogja selain memperhitungkan fungsi tiap bagian kota juga memiliki makna simbolis. Misalnya, di tengah alun-alun terdapat sepasang beringin yang terkurung dan terpisah, menggambarkan manunggaling kawula gusti. Maknanya peringatan bagi raja agar menjalankan kerajaan dengan adil. Hingga sekarang sebagian tata kota kraton masih berfungsi dan dipertahankan keberadaannya. Tapi sebagian sudah tinggal kenangan karena harus bersaing dengan budaya populer yang menyerbu Jogja dengan ganas.

Persaingan antara budaya Barat dan kraton menjadi realitas cepat atau lambat akan merubah wajah Jogja. Kebudayaan Kraton yang sejak awal dijadikan simbol perwujudan budaya Jawa, melawan barat yang identik dengan peradaban kapitalis.

Ibarat petinju, pertama-tama peradaban kapitalistik menyarangkan pukulan mautnya ke perut orang Jogja. Restoran-restoran cepat saji, seperti Kentucky Fried Chicken, Mc Donalds, Pizza Hut, dan Dunkin Donuts, menjadi sarana mengubah pola dan gaya hidup orang Jogja. Berbeda dengan makan di lesehan yang membolehkan pengunjung ngobrol sampai larut tanpa menghiraukan waktu, di restoran-restoran dunia itu makan benar-benar menjadi sekedar aktivitas rutin yang harus segera diselesaikan.

Serbuan budaya Barat lainnya yang turut mengubah wajah Jogja adalah makin maraknya mal, supermarket dan kafe yang dengan cepat telah membuat sebagian Jogja menjadi seperti yang sering muncul di sinetron-sinetron Indonesia.

Di sisi lain, Jogja telah menjelma menjadi kesibukan rutin dari siang hingga malam. Jalan-jalan beraspal tak pernah sepi dari kendaraan bermotor dan orang-orang.

Jalan Malioboro, salah satu trade mark Jogja, bahkan nyaris tidak pernah sepi. Pedagang, pelancong, pelajar, dan pencari hiburan memadati jalan legendaris ini. Kini, Jogja menjadi kota yang tidak mengenal kata istirahat.

Sholahudin